Segelas kopi manis terhidang di meja kayu yang telah menjadi penghuni tetap rumahku. Sambil menikmati goreng singkong yang baru diangkat dari wajan, mataku menyaksikan sekolah yang dibiarkan ambruk, sementara murid-muridnya belajar di tenda-tenda darurat. Sementara wakil rakyatnya sibuk mengajukan mobil dinas baru. Aku hanya ditemani oleh bapak dan ibu, sedangkan adikku yang bungsu telah pergi dijemput bermain bola oleh teman-temannya.
“Man! Si Badrun anaknya Pak Samsul sekarang telah menjadi PNS.” Ibuku membuka pembicaraan. “Bukannya dia guru honorer di sekolah menengah?” Mataku tidak berpaling dari televisi.
“Itu dulu. Sekarang sudah jadi PNS.”
“Hebatlah,” jawabku tidak acuh.
“Tapi……”
“Apa?” Aku tidak sabar mendengar kelanjutannya.
“Pak Samsul harus menjual sawahnya di kampung.”
“Memang kenapa?” tanyaku, penasaran.
“Pak Samsul harus mengeluarkan uang 30 juta agar Si Badrun jadi PNS.”
“Tiga puluh juta? Besar amat. Mending buat usaha.”
Ayahku yang sejak tadi diam ikut bersuara.
“Bapak juga heran. Katanya jaman reformasi, besih dari KKN. Nyatanya sama saja.”
“Bukannya Pak Samsul itu orang yang rajin ke mesjid dan sering ikut pengajian? Masa tidak tahu bahwa yang disuap sama yang menyuap itu dosa?” kataku agak kencang. Bapak dan ibuku diam saja. Mulutku juga diam, hanya suara televisi yang menayangkan demontrasi guru-guru honorer yang gajinya belum dibayar yang terdengar.
Sebelum aku kembali ke tempat perantauanku, aku dikunjungi oleh Ustad Abdul yang sekarang menjadi ketua DKM. Ustad Abdul pernah mengajari aku mengaji walaupun sebentar sebab seringnya aku belajar mengaji dari Kyai Rojali yang sudah sepuh. Tentu saja kedatangannya ke rumahku seperti tidak ada hujan tidak ada angin. Lelaki separuh baya itu datang berselendang putih di lehernya. Peci putih yang menenpel anggun dikepalanya menandakan bahwa beliau telah menunaikan rukun islam yang ke lima ke tanah suci. Jenggotnya lebat perpaduan antara antara warna hitam dan putih. Aku menerima kedatangan beliau dengan tangan terbuka di ruang depan. Setelah kupersilakan masuk, beliau duduk di kursi coklat yang warnanya telah kekuning-kuningan.
“Ada apa gerangan ustad berkunjung ke gubuk yang sudah tua ini?” sapaku.
“Ah Tidak usah begitu Nak Rahman. Saya ikut senang kamu bisa bekerja dan sukses di kota.”
Ada perasaan kurang setuju dengan kalimat terakhir yang diucapkan Ustad Abdul. Sebab aku baru bekerja beberapa bulan di kota dan belum dapat dikategorikan sebagai orang sukses. Pujian itu terlalu berlebihan buatku. Aku dan Ustad Abdul berbicara ke sana kemari. Sesekali tertawa ketika Ustad Abdul mengingatkan tentang masa laluku. Dan pada ujung pembicaraan Ustad Abdul mengatakan sesuatu yang diluar nalarku. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H