Karena kemungkinan kalian akan mengingatnya itu cukup kecil, jika pun ingat, itu tidak akan se-briliant ide yang sebelumnya. Jadi, catatlah idemu sebelum menghilang.
3. Enggan dikomentari negatif
Tulisanmu adalah karyamu, sekalipun itu hanya sebaris kalimat. Banyak orang yang dikenal hanya dengan kalimatnya, bahkan hanya dengan satu kata saja. Selagi semua itu memiliki makna dan berpotensi untuk "meledak", maka akan meledak. Apapun itu, sebuah karya adalah identitas penciptanya -dalam hal ini penulisnya- dan tidak ada karya yang tidak dikomentari.Â
Seorang penulis sejati akan selalu diterpa komentar tak sedap yang mengarah kepada tulisannya ataupun orang itu sendiri. Tapi jangan pernah jadikan semua itu sebagai alasan untuk berhenti menulis. Kamu tidak dapat menolak semua itu, bahkan kamu tidak bisa membalas mereka yang meghujat karyamu.Â
Mereka berhak berkomentar, sekalipun pahit dan pedas. Kamu hanya perlu menyaringnya dan menyimpannya di dalam keranjang pikiranmu, lalu olah mereka di mesin penggiling di otak, kemudian serap semua sari yang berharga.Â
Hanya dengan semua itulah kamu bisa tumbuh menjadi penulis yang lebih baik dari apa yang para haters katakan. Tapi jika kamu enggan di komentari begitu, maunya yang bagus-bagus saja, duuuh... mentalmu masih sebatas "tukang khayal".
4. Menikmati masa-masa writer-block
Selain tukang plagiat, writer-block adalah musuh besar para penulis. Writer-block adalah masa dimana seorang penulis kehabisan ide dan tidak bisa melanjutkan tulisannya. Butuh waktu untuk memulihkan keadaan imajinasi sang penulis, entah seharian, seminggu, bahkan ada yang berbulan-bulan.Â
Tak jarang penulis yang terjangkit virus ini akan lupa dengan plot yang telah ia pikirkan atau bahkan lupa dengan rasa dan emosi yang ada di dalam cerita.Â
Biasanya, seorang penulis sejati akan mati-matian mencari solusi untuk memulihkan kondisinya. Jadi, kalau kamu malah menikmati masa-masa tersebut, ketahuilah, kamu belum selevel dengan 'mereka'.
5. Menulis untuk menjadi terkenal