Mengapa mempersulit diri menabung, jika tidak bisa diambil di saat kita sangat membutuhkannya?
Keempat, bagi peserta yang tidak termasuk dalam golongan MBR, maka simpanan tersebut baru bisa diambil saat dia meninggal dunia, tidak lagi menjadi peserta (entah dengan alasan apa tidak dijelaskan), dan saat pensiun.
Pengambilan JHT dan JP saja sudah cukup bagi karyawan swasta. Bukan cukup banyak dalam konteks nominal, sehingga cukup untuk bersantai di masa pensiun. Melainkan, JHT dan JP saja sudah cukup ngenes untuk diserahkan kepada pemerintah dan diambil kembali saat sudah renta. Mengapa? Inflasi tentu saja sudah mengubah nilai uang yang kita simpan bertahun-tahun tersebut. Belum lagi pajak yang siap memotong dengan besaran prosentasenya.
Selain itu, pengambilan tabungan di masa pensiun atau jika peserta meninggal dunia juga diharapkan lebih sistematis dan mudah diakses bagi si penabung maupun ahli waris. Jangan seperti kasus ibu saya dan rekan-rekan seangkatannya, yang tidak tahu  ke mana dan bagaimana mencairkan tabungan perumahannya. Terakhir kali, informasi yang didapat, bahwa pencairan tabungan perumahan tidak diurus oleh Taspen.Â
Adapula kasus yang sudah mengurus berkas untuk pencairan tabungan perumahan, namun statusnya masih diproses padahal sudah setahun lebih pasca pensiun. Ternyata, dalam website TAPERA pun sudah dinyatakan bahwa pencairan tabungan bisa terjadi dalam kurun waktu maksimal tiga tahun.
Tiga tahun, bukan tiga bulan. Sudah renta, masih disuruh menunggu lagi untuk mengambil tabungan yang sudah dipupuk sejak masih muda. Waduh, malah takut keburu lupa!
Kelima, tabungan dari seluruh pekerja di Indonesia tadi dikelola oleh BP TAPERA, yang bekerja sama dengan bank konvensional dan bank syariah, serta diawasi dan diaudit oleh Badan Pengawas Keuangan. Mengapa rakyat dipaksa percaya jika pemerintah saja memiliki track record buruk terkait pengelolaan uang.
Bagaimana nantinya aksesibilitas laporan keuangan tersebut bagi masyarakat agar mereka yakin bahwa uang mereka aman dan mereka memiliki kesempatan untuk pemanfaatan KPR, KRR, dan KBR tersebut.
Keenam, komisaris BP TAPERA juga menyampaikan bahwa telah ada ribuan rumah subsidi yang dibangun dari tabungan perumahan yang telah dilaksanakan sebelumnya untuk para ASN. Namun, seperti sudah menjadi rahasia umum bahwa rumah subsidi memiliki banyak kekurangan dalam hal kualitas bangunan.
Apakah ada jaminan pengawasan pembangunan, baik pembangunan rumah secara fisik, maupun pemilihan developer perumahan yang terpercaya untuk mewujudkan rumah layak untuk masyarakat tersebut? Karena menurut pengalaman saya sendiri, perumahan subsidi memiliki kualitas bangunan yang kurang, serta developer yang kurang diawasi pihak lain, sehingga pembangunan jalan perumahan saja berjalan sangat lambat.Â
Harapannya, setiap celah yang dipertanyakan masyarakat ini benar-benar sudah tersedia jawabannya dan terkonsep dengan sistematis, sehingga program yang bertujuan mulia ini tidak akan menjadi sekedar tambahan penderitaan rakyat.