Mohon tunggu...
Elin Moevid
Elin Moevid Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Hanya seseorang yg sibuk duniawi dan rindu menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tapera Tak Hanya Butuh Sosialisasi tapi Juga Kematangan Regulasi

31 Mei 2024   12:49 Diperbarui: 1 Juni 2024   06:04 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tapera (shutterstock)

Usai membanjirnya komentar masyarakat terkait kewajiban iuran TAPERA, pihak pemerintah maupun BP TAPERA memberikan tanggapan mereka. Sayangnya, bahkan sekelas komisaris BP TAPERA dan Bapak Presiden, hanya menekankan tentang kurangnya sosialisasi mengenai program ini.

"Sama halnya dengan BPJS dulu, awal-awal kan ada pro kontra, tapi lama-lama masyarakat merasakan manfaatnya", begitulah tanggapan Pak Jokowi saat diwawancara media. Sejalan dengan itu, komisaris BP TAPERA, Heru Pudyo Nugroho, saat di acara KOMPAS TV, juga mengatakan bahwa segala aturan bisa dijelaskan lebih lanjut.

Pada dasarnya program TAPERA merupakan program yang beritikad baik. Berasaskan gotong royong, masyarakat yang mampu diminta "meminjamkan" uang mereka, dalam bentuk tabungan yang disimpan pemerintah, untuk "diberikan" pada masyarakat yang belum mampu memiliki rumah. Namun, bukannya masyarakat Indonesia ini kurang berempati terhadap sesamanya, hanya saja program ini memiliki beberapa celah yang patut dipertanyakan.

Pertama, terkait kepesertaan. Seperti yang sudah diberitakan, bahwa karyawan swasta dan pekerja mandiri juga diwajibkan menjadi peserta. Namun, berbeda dengan ASN dan ABRI, karyawan swasta memiliki posisi yang lebih rentan untuk keluar dari perusahaan. Misalnya saja, putus kontrak bagi karyawan kontrak, atau terkena PHK. 

Dalam kasus BPJS Ketenagakerjaan, pekerja bisa mengambil JHT jika dia berhenti bekerja, atau membiarkannya, sampai dia memperoleh pekerjaan baru di perusahaan lain. Saldo JHT itupun bisa berlanjut, meski pihak HRD nya berganti, dari perusahaan A ke perusahaan B. 

Bagaimana dengan TAPERA? Bukankah peruntukannya untuk kepemilikan rumah? Jika bisa diambil saat seseorang terpaksa berhenti bekerja, seperti PHK, lalu apa bedanya dengan JHT? Jika tidak bisa diambil, lantaran peruntukannya rumah, bukankah dalam posisi pasca PHK, sandang pangan adalah prioritas ketimbang memiliki rumah?

Kedua, masih berkaitan dengan BPJSTK. Karyawan swasta bisa mengambil JHT sebesar 30%, untuk keperluan memiliki rumah, setelah 10 tahun bekerja. Lalu, untuk apa ada TAPERA? Saya ingat betul jawaban Komisaris BP TAPERA saat ditanyai hal tersebut oleh presenter KOMPAS TV, "Nah, masalah itu, tentunya bisa menjadi masukan bagi kami". 

Sungguh aneh jika sebuah kebijakan yang sudah sah, sudah terbentuk lembaganya, tidak tahu menahu mengenai JHT 30% ini. Jikalau memang sudah tahu, maka pastinya aturan ini diterabas saja dan dianggap tidak penting, toh sudah berbeda lembaga yang mengurus. BPJS punya aturan, kami juga punya aturan, begitu kiranya.

Ketiga, dijelaskan dalam website resmi BP TAPERA bahwa peserta TAPERA akan memperoleh 3 jenis manfaat, yaitu KPR, KRR, dan KBR. Namun, manfaat tersebut hanya bisa diperoleh oleh MBR (masyarakat berpenghasilan rendah), yaitu masyarakat dengan penghasilan di bawah 8 juta rupiah per bulan. 

Misalnya, Mr.X ingin mendaftar program  untuk keperluan DP rumah pertamanya. Maka dia akan masuk dalam waiting list, yang tidak bisa dijamin pada bulan dan tahun kapan dia akan memperoleh uang tersebut. Mengapa demikian? Karena hanya BP TAPERA yang menentukan apakah Mr.X layak mendapatkan bantuan, dibandingkan Mr. A,B,C,D yang juga mendaftar pada saat itu.

Mengapa mempersulit diri menabung, jika tidak bisa diambil di saat kita sangat membutuhkannya?

Keempat, bagi peserta yang tidak termasuk dalam golongan MBR, maka simpanan tersebut baru bisa diambil saat dia meninggal dunia, tidak lagi menjadi peserta (entah dengan alasan apa tidak dijelaskan), dan saat pensiun.

Pengambilan JHT dan JP saja sudah cukup bagi karyawan swasta. Bukan cukup banyak dalam konteks nominal, sehingga cukup untuk bersantai di masa pensiun. Melainkan, JHT dan JP saja sudah cukup ngenes untuk diserahkan kepada pemerintah dan diambil kembali saat sudah renta. Mengapa? Inflasi tentu saja sudah mengubah nilai uang yang kita simpan bertahun-tahun tersebut. Belum lagi pajak yang siap memotong dengan besaran prosentasenya.

Selain itu, pengambilan tabungan di masa pensiun atau jika peserta meninggal dunia juga diharapkan lebih sistematis dan mudah diakses bagi si penabung maupun ahli waris. Jangan seperti kasus ibu saya dan rekan-rekan seangkatannya, yang tidak tahu  ke mana dan bagaimana mencairkan tabungan perumahannya. Terakhir kali, informasi yang didapat, bahwa pencairan tabungan perumahan tidak diurus oleh Taspen. 

Adapula kasus yang sudah mengurus berkas untuk pencairan tabungan perumahan, namun statusnya masih diproses padahal sudah setahun lebih pasca pensiun. Ternyata, dalam website TAPERA pun sudah dinyatakan bahwa pencairan tabungan bisa terjadi dalam kurun waktu maksimal tiga tahun.

Tiga tahun, bukan tiga bulan. Sudah renta, masih disuruh menunggu lagi untuk mengambil tabungan yang sudah dipupuk sejak masih muda. Waduh, malah takut keburu lupa!

Kelima, tabungan dari seluruh pekerja di Indonesia tadi dikelola oleh BP TAPERA, yang bekerja sama dengan bank konvensional dan bank syariah, serta diawasi dan diaudit oleh Badan Pengawas Keuangan. Mengapa rakyat dipaksa percaya jika pemerintah saja memiliki track record buruk terkait pengelolaan uang.

Bagaimana nantinya aksesibilitas laporan keuangan tersebut bagi masyarakat agar mereka yakin bahwa uang mereka aman dan mereka memiliki kesempatan untuk pemanfaatan KPR, KRR, dan KBR tersebut.

Keenam, komisaris BP TAPERA juga menyampaikan bahwa telah ada ribuan rumah subsidi yang dibangun dari tabungan perumahan yang telah dilaksanakan sebelumnya untuk para ASN. Namun, seperti sudah menjadi rahasia umum bahwa rumah subsidi memiliki banyak kekurangan dalam hal kualitas bangunan.

Apakah ada jaminan pengawasan pembangunan, baik pembangunan rumah secara fisik, maupun pemilihan developer perumahan yang terpercaya untuk mewujudkan rumah layak untuk masyarakat tersebut? Karena menurut pengalaman saya sendiri, perumahan subsidi memiliki kualitas bangunan yang kurang, serta developer yang kurang diawasi pihak lain, sehingga pembangunan jalan perumahan saja berjalan sangat lambat. 

Harapannya, setiap celah yang dipertanyakan masyarakat ini benar-benar sudah tersedia jawabannya dan terkonsep dengan sistematis, sehingga program yang bertujuan mulia ini tidak akan menjadi sekedar tambahan penderitaan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun