Mohon tunggu...
Elin Moevid
Elin Moevid Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Hanya seseorang yg sibuk duniawi dan rindu menulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

#JusticeForAudrey Itu Harusnya Tak Cuma Petisi, tapi Evaluasi

10 April 2019   00:08 Diperbarui: 11 April 2019   21:51 873
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan Layar untuk UU No 11 Th 2012 Pasal 5 & 6

Saat saya masih ketawa-ketiwi bertukar kabar dengan sahabat yang terpisah jarak, mengobrol mulai dari kelakuan murid yang berani menghajar guru, hingga serba serbi pilpres, tiba-tiba dia pun nyeletuk perkara #JusticeForAudrey diiringi sumpah serapahnya. Langsung jemari dan mata ini menelusuri berita yang ada. 

#JusticeForAudrey merupakan petisi untuk meminta keadilan bagi Audrey, siswi SMP yang menjadi korban perundungan. Tak tanggung-tanggung, pelaku berjumlah 12 orang dan semuanya masih berstatus siswi SMA. Saya kira kasus bullying tingkat brutal hanya ada di drama korea, nyatanya tidak. Kejadian ini ada di tanah air, tepatnya di Pontianak. Jika ingin tahu lebih detail cerita, media telah banyak membahasnya, seperti di sini. 

Seperti kebiasaan warganet pada umumnya yang bila diberi berita, langsung meledaklah semua. Cacian untuk pelaku sudah menghiasi twitter, bagaimana tidak, pelaku dikabarkan masih sempat berswafoto dan menggunakan fitur boomerang khas Instagram saat berada di kantor polisi. Saya pun otomatis misuh (mengumpat dalam Bahasa Jawa)  saat membaca berita ini. Bahkan walikota Pontianak juga sudah mengunjungi korban dan meminta adanya tindakan tegas untuk pelaku. 

Namun, bagaimanakah baiknya?

Saat kita menghadapi kasus tindak kriminal, kekerasan, atau pelanggaran lain yang melibatkan pelaku yang masih di bawah umur, akan ada dilema yang dihadapi. Dalam kasus ini, di satu sisi korban adalah anak di bawah umur yang harus dibela haknya. Di sisi lain, pelaku yang masih berstatus siswa SMA tentunya mendapat pertimbangan-pertimbangan khusus terkait hukumannya. 

UU Sistem Peradilan Pidana Anak

Seperti dalam UU No 11 Th 2012, anak yang berkonflik dengan hukum adalah mereka yang berusia 12-18 tahun dan diduga melakukan tindak pidana. Dalam proses peradilannya pun diwajibkan adanya diversi, yang tujuannya sebisa mungkin mengarah pada perdamaian di antara kedua belah pihak. 


Tangkapan Layar untuk UU No 11 Th 2012 Pasal 5 & 6
Tangkapan Layar untuk UU No 11 Th 2012 Pasal 5 & 6
Adanya wacana seperti inilah yang juga menyulut amarah warganet hingga timbul tagar yang menyuarakan keadilan bagi korban. Dilematis memang, bahkan dalam UU ini pun terkesan sebisa mungkin mempertimbangkan korban, namun juga harus memberikan efek jera pada pelaku. Semua tergantung pada proses peradilan nantinya, dan bagaimanakah iktikad pelaku serta keinginan korban. 

Kenakalan Remaja Masa Kini

Adanya UU perlidungan anak tentunya untuk melindungi masa depan pelaku yang sebenarnya masih panjang. Sayangnya, kenakalan remaja masa kini tak layak disebut kenakalan.  Dalam kasus ini korban diseret, ditendang, dipukul, dan dilukai bagian tubuh vitalnya. Jika kategori seperti ini dinamakan kenakalan remaja, apa kabar teman SMA saya yang dianggap nakal gara-gara lompat pagar dan bolos sekolah? 

Mirip sinetron atau cuplikan adegan bullying film luar negeri seperti itulah. Sayangnya ini nyata, ulah anak bangsa, dan korban masih merasakan trauma. Apakah sekumpulan bocah ingusan ini menganggap hidup hanyalah drama? Atau mereka telah terbiasa melihat adegan ini di tempat lain hingga berani melakukannya? Dan akankah berhenti di sini karena viralnya amarah warganet, atau malah mengundang inspirasi dari rekan sejawat? Atau jangan-jangan ini hanyalah sepotong potret kenakalan remaja masa kini?

Remaja dan Pergaulannya

Saat mengetahui berita ini pun saya marah, sama meledaknya dengan sebagian besar warganet. Tapi apakah sampai di situ yang bisa dilakukan?

Memberikan edukasi sekaligus menjadi teman yang baik bagi remaja adalah PR yang sulit bagi orang tua. Apalagi bagi orang tua yang juga membagi waktunya untuk mencari nafkah. Berharap dengan bersekolah, si anak mampu mempelajari norma sosial yang ada dan membekali diri dengan ilmu untuk masa depan. Sayangnya, hal negatif pun bisa muncul di sekolah. Salah satunya melalui pergaulan dengan cara yang salah.

Dalam kasus ini, korban dianiaya karena dipicu dari obrolan WhatsApp terkait laki-laki yang menjadi pacar salah seorang pelaku, sekaligus mantan dari kakak korban. Secara logika, yang bermasalah tentu si mantan, sang lelaki, dan pacar. 

Namun anehnya, pelaku melibatkan 12 orang siswi SMA. Mungkin atas dasar solidaritas, para pelaku lain ikut berkontribusi. Namun tentu saja, solidaritas dan tipe pergaulan macam geng wanita super inilah yang salah. 

Menekankan arti pertemanan dan pentingnya memilih lingkungan pergaulan bukan perkara mudah untuk disampaikan, apalagi pada remaja yang mulai merasa dirinya ingin diakui. Dan hal ini bukan serta merta dilakukan dengan metode ceramah sekali dua kali, namun dengan metode pendekatan antara orang tua kepada anaknya. 

Mengenali Emosi Remaja 

Hal lain yang mengerikan dari kasus ini adalah bagaimana cara pelaku melampiaskan kekesalannya. Sekali lagi kasus ini tentunya seputar si mantan, sang lelaki, dan pacar. Namun bisa berujung pada korban, yang notabene adik sepupu si mantan. Lah, dianya aja ngga ikut macarin, kok dipukuli? Dari media dikabarkan motif pelaku adalah untuk memancing si mantan keluar dari rumahnya. 

Kisah Audrey yang dibagikan via twitter @tiara_nazilia
Kisah Audrey yang dibagikan via twitter @tiara_nazilia

Memancing si mantan keluar dari rumahnya dengan menganiaya adiknya? Masuk akal? Kalau saya jadi pacar, mending teriak-teriak saja di depan rumah si mantan. Selesai perkara. Namun mereka memilih menganiaya orang lain. Hal brutal seperti ini, kalau tidak ada pemicunya, jelas tidak mungkin. Pasti ada salah seorang diantara 12 siswi itu yang menjadi biang. Atau mungkin ada contoh yang pernah dilihat salah satu pelaku lalu berkembanglah menjadi skenario sadis. Ngeri ya?

Emosi remaja memang terkenal labil. Perubahan hormonal disebut-sebut sebagai penyebabnya. Namun bagaimanakah seharusnya remaja meluapkan emosi? Di sinilah peran orang tua sekali lagi dibutuhkan untuk memperhatikan perubahan-perubahan emosi anak. Jika dia marah apa yang dilakukan, adakah kecenderungan melakukan kekerasan. 

Terkadang orang tua sudah merasa bahwa mereka tidak memberikan contoh yang buruk dan selalu mendengar curahan hati anaknya. Namun, lingkungan memberikan atmosfer yang berbeda, sebut saja tayangan televisi, konten youtube, atau berita kekerasan yang berseliweran. 

Setiap Orang Butuh Ilmu Parenting

Saya pernah menanyakan kepada rekan yang bekerja di instansi BKKBN, apakah ada materi parenting yang disediakan gratis bagi umum? Dan nyatanya memang ada, namun terkesan terlalu umum. Tidak mendalam. Saya ingin lebih. Saya haus ilmu parenting. Haruskah saya kuliah mengambil jurusan psikologi, BK, atau membaca banyak buku parenting untuk tahu?

Saya pernah iseng mengunduh panduan parenting dari situs pemerintah Australia terkait sex education yang diberikan gratis, di web. Dan panduan tersebut disertai beberapa testimoni dari anak dan orang tua. Jujur saya menyukainya, tak bisakah saya mendapatkannya di Indonesia? Tak perlu muluk-muluk bahas sex education yang jelas masih pro-kontra di negeri ini, tapi bisa terkait ilmu parenting yang aplikatif, seperti misalnya menghadapi remaja pubertas. 

Tak hanya orang tua yang membutuhkan ilmu parenting, tapi juga mereka calon pengantin. Pun guru-guru yang mungkin masih lajang, serta para kakek nenek, tetangga yang mungkin ilmu parentingnya perlu beradaptasi dengan jaman sekarang. 

Jika setiap orang memiliki bekal ilmu parenting, tentunya lingkungan yang lebih kondusif untuk anak akan tercipta. Tak bisakah tayangan edukatif untuk orang dewasa belajar mendidik anak tersedia gratis, di layar televisi mungkin?

Ah, angan-angan saya saja yang mungkin terlalu tinggi. Kelas parenting saja berbayar, hehe.

Kasus Audrey Tak Boleh Sekedar Petisi

Dengan adanya kasus ini, seharusnya lebih banyak pihak yang terlibat. Bukan hanya dengan petisi warganet, tapi juga ada wacana lebih luas, dari sekolah, institusi pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Korban bisa saja masih trauma, pelaku bisa saja tidak jera, tapi apakah kita juga nanti akan lupa? Jangan, tolong jangan berhenti di petisi. 

Tengoklah anak Anda, keponakan Anda, murid Anda, tetangga Anda, tanyakan pendapat mereka tentang kasus ini. Tanyakan apakah mereka mengalami perundungan di sekolah. Tanyakan apakah mereka pernah melakukan hal buruk pada temannya. Tanyakan apakah ada hal serupa di sekolah mereka. Tanyakan, dengarkan, dan perhatikan. 

Jangan berhenti di petisi, karena kasus ini hendaknya jadi evaluasi bagi siapa pun, yang menggantungkan harapan pada anak bangsa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun