Mohon tunggu...
Elina Zahra
Elina Zahra Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa Magister, Spesialisasi Hukum Pidana dan Hukum Ekonomi

Advokat Magang yang mencintai proses sebuah penelitian ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Delik Ujaran Kebencian sebagai yang Berlaku Bukan yang Seharusnya

29 Agustus 2020   17:41 Diperbarui: 29 Agustus 2020   17:43 1139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: dok. pribadi

Kata delik berasal dari bahasa Latin, yaitu dellictum, yang di dalam Wetboek Van Strafbaar feit Netherland dinamakan Strafbaar feit. Dalam Bahasa Jerman disebut delict, dalam Bahasa Perancis disebut delit, dan dalam Bahasa Belanda disebut delict. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan sebagai berikut.

"Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana."

Delik adalah perbuatan dalam makna berbuat atau tidak berbuat yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai perbuatan melanggar hukum, delik dapat dikatakan utuh dan dapat diberikan sanksi jika mengandung segala unsur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pada dasarnya, ujaran kebencian berbeda dengan ujaran (speech) pada umumnya, walaupun di dalam ujaran tersebut mengandung kebencian, menyerang dan berkobar-kobar. Perbedaan ini terletak pada niat (intention) dari suatu ujaran yang memang dimaksudkan untuk menimbulkan dampak tertentu, baik secara langsung (aktual) maupun tidak langsung (berhenti pada niat).

Menurut Susan Benesch, jika ujaran tersebut dapat menginspirasi orang lain untuk melakukan kekerasan, menyakiti orang atau kelompok lain, maka ujaran kebencian itu berhasil dilakukan.[1]

Di Dalam Surat Edaran Kapolri NOMOR SE/06/X/2015 tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) dijelaskan pengertian tentang Ujaran Kebencian (Hate

Speech) dapat berupa tindak pidana yang di atur dalam KUHP dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP,[2] yang berbentuk antara lain: 1) Penghinaan, 2) Pencemaran nama baik, 3) Penistaan, 4) Perbuatan tidak menyenangkan, 5) Memprovokasi, 6) Menghasut, dan 7) Menyebarkan berita bohong.

Pada dasarnya ujaran kebencian (Hate Speech) adalah Perkataan, perilaku, tulisan ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan memiliki dampak yang merendahkan harkat martabat manusia dan kemanusiaan serta menyebabkan sikap prasangka dari pihak pelaku pernyataan tersebut atau korban dari tindakan tersebut.[2]

Di Indonesia, menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana, Indriyanto Seno Adji, fenomena ujaran kebencian dan hoaks muncul karena tahun politik yang sedang berjalan. Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat, Brigjen Mohammad Iqbal, Polri telah mendeteksi ratusan konten provokatif mengandung ujaran suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA), hoaks, dan ujaran kebencian sepanjang tahun 2018. Hingga 6 Maret 2018 sudah ada 642 konten provokatif.

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, sebelumnya pencemaran nama baik (penghinaan) diatur dan dirumuskan dalam Pasal 310 KUHP, yang terdiri dari 3 (tiga) ayat. Menista dengan lisan (smaad) -- Pasal 310 ayat (1); Menista dengan surat (smaadschrift) -- Pasal 310 ayat (2).

Sedangkan perbuatan yang dilarang adalah perbuatan yang dilakukan "dengan sengaja" untuk melanggar kehormatan atau menyerang kehormatan atau nama baik orang lain. Apabila unsur-unsur penghinaan atau Pencemaran Nama Baik ini hanya diucapkan (menista dengan lisan), maka perbuatan itu tergolong dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP. Namun, apabila unsur-unsur tersebut dilakukan dengan surat atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan (menista dengan surat), maka pelaku dapat dijerat atau terkena sanksi hukum Pasal 310 ayat (2) KUHP. Delik dalam pasal 310 ini merupakan delik aduan yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang karena perbuatannya merasa dirugikan.

Hal-hal yang menjadikan seseorang tidak dapat dihukum dengan pasal Pencemaran Nama Baik atau Penghinaan adalah :

  • Penyampaian informasi itu ditujukan untuk kepentingan umum;
  • Untuk membela diri;
  • Untuk mengungkapkan kebenaran.

Ketentuan pasal penghinaan sebelum berlakunya delik ujaran kebencian menunjukkan kebutuhan prasyarat delik/unsur-unsur delik yang ketat. Jika perbuatan (penghinaan) itu adalah untuk kepentingan umum perbuatan itu tidak dapat dihukum, jika perbuatan itu (penghinaan) adalah untuk membela diri dan untuk mengungkapkan kebenaran perbuatan itu tidak dapat dihukum. Serta yang paling penting jika perbuatan itu tidak dilaporkan/diadukan oleh korban langsung yang ditujukan perbuatan itu tidak dapat dihukum.

Ketentuan unsur delik yang ketat ini menunjukan perlindungan bagi kebebasan menyampaikan pendapat dan ekspresi seseorang sebagai warga negara dengan kata lain perasaan tidak suka dibolehkan disampaikan jika itu lebih banyak manfaatnya jika disampaikan demi melindungi kepentingan umum atau bahkan hanya untuk membela diri.  

Jika kita melihat teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen memuat dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu. Friedmann mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikiran Kelsen sebagai berikut:[3]

  1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
  2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku, bukan mengenai hukum yang seharusnya
  3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.
  4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum
  5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata.

Hans Kelsen, menjelaskan hukum dalam paparan sebagai berikut: Hukum merupakan sistem norma, sebuah sistem yang didasarkan pada keharusan-keharusan (apa yang seharusnya atau das sollen).

Bagi Hans Kelsen, norma merupakan produk pemikiran manusia yang sifatnya deliberatif. Sesuatu menjadi sebuah norma kalau memang dikehendaki menjadi norma, yang penentuannya dilandaskan pada moralitas maupun nilai-nilai yang baik. Jadi pertimbangan-pertimbangan yang melandasi sebuah norma bersifat meta yuridis. Sesuatu yang bersifat metayuridis tersebut bersifat das sollen, dan belum menjadi hukum yang berlaku mengikat masyarakat.

Singkatnya bagi Hans Kelsen, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak. Norma-norma tersebut akan menjadi mengikat masyarakat apabila norma tersebut dikehendaki menjadi hukum dan harus dituangkan dalam wujud tertulis, dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang dan memuat perintah.

Pendapat Hans Kelsen ini mengindikasikan pikirannya bahwa positivisme hukum menganggap pembicaraan moral, nilai-nilai telah selesai dan final manakala sampai pada pembentukan hukum positif. Oleh karena itulah penggalan kata-kata yang sangat terkenal dari Hans Kelsen : "hukum ditaati bukan karena dinilai baik atau adil, tetapi karena hukum itu telah ditulis dan disahkan penguasa". Inilah salah satu teori yang diperkenalkan Hans Kelsen dengan nama Teori Hukum Murni.

Delik adalah suatu kondisi di mana sanksi diberikan berdasarkan norma hukum yang ada. Tindakan manusia dikatakan sebagai suatu delik karena aturan hukum mengenakan suatu sanksi sebagai konsekuensi dari tindakan tersebut. Ujaran kebencian dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah hukum dari negara tanpa melihat efek dari denotasi sebuah kombinasi kata yang akhirnya memiliki makna tunggal dan sebuah perbuatan yang memiliki sanksi atau telah menjadi delik. Delik ujaran kebencian ditaati oleh masyarakat Indonesia karena telah menjadi hukum yang berlaku di dalam peraturan perundang-undangan bukan karena penyelesaian dengan delik tersebut masyarakat mendapatkan apa yang dicita-citakan atau kehendak yang seharusnya (das sollen).

Ketika yang dikehendaki masyarakat dalam garis besar adalah hidup tanpa diskriminasi SARA dan kepentingan rakyat untuk tidak dibohongi dan dicurangi oknum pemegang kekuasaan dan kekayaan, delik ujaran kebencian lebih mahsyur namanya untuk menghukum pribadi yang menghina golongan atau pribadi lain dengan kepentingan organisasi, lembaga atau nama baik dari tuan pemangku jabatan atau kekuasaan.

Kemarahan rakyat tanpa data dan informasi yang benar menurut yang berwenang menentukan data itu valid atau tidak valid dirumuskan sebagai penyebaran berita bohong. Sebaliknya berita bohong tidak akan disematkan kepada mereka yang berwenang karena dianggap data pembuktian bahwa berita itu bohong hanya temuan kasus bukan keadaan yang dapat di generalisir.

Keadaan yang perlu diperhatikan juga atas konsekuensi perumusan delik ujaran kebencian, yaitu dalam menggunakan hak berekspresi; berpendapat; berkarya dan lain sejenisnya, masyarakat tidak hanya menyalurkan hal tersebut dengan bahasa/ujaran yang dapat langsung dipahami secara denotatif tapi juga dapat lewat seni gambar, karya sastra, seni gerak, seni pertunjukan dan lain sebagainya, apakah denotasi hukum mampu mengidentifikasi ujaran kebencian yang telah menjadi delik tersebut tanpa mengganggu ruang gerak ekpresi manusia?

Apakah ketika seseorang menciptakan seni gambar yang mengekspresikan pikirannya dalam bentuk seni dapat dipidana karena gambarnya dianggap memenuhi unsur delik ujaran kebencian? apakah adil kacamata hukum masuk kedalam wilayah seni atau ilmu pengetahuan lain? apakah aparat penegak hukum, hakim, jaksa, dan kepolisian mampu menerapkan apa yang dimaksud ujaran kebencian secara adil berdasarkan etika kebebasan berseni atau kebebasan melakukan penelitian dari ilmu pengetahuan lainnya?

Selanjutnya jika kita membahas tentang reduplikasi delik dalam masalah ujaran kebencian dan hubungannya dengan delik-delik terkait penghinaan di Indonesia, di Indonesia walaupun GBHN sebagai produk hukum yang lebih tinggi telah menggariskan berbagai "arahan" yang sangat ideal, namun dalam kenyataannya berbagai produk hukum yang lebih rendah daripadanya justru melegitimasi adanya penyimpangan, dengan sebagai justifikasinya.

Dalam hal delik ujaran kebencian yang sejatinya lahir dari jenis delik aduan absolut dalam perumusan barunya otomatis menjadi delik biasa dan dapat dilaporkan oleh siapapun/tidak harus dari korban langsungnya adalah salah satu penyimpangan bangunan hukum terkait perbuatan penghinaan berdasarkan regulasi hukum penghinaan di Indonesia.

Sehingga berdasarkan uraian diatas Delik Ujaran Kebencian adalah Hukum yang Berlaku Bukan Hukum yang Seharusnya adalah senada dengan pendapat Hans Kelsen bahwa Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam. Hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan hukum yang nyata. SEKIAN.

[1] Lidya Suryani Widayati, Ujaran Kebencian: Batasan Pengertian Dan Larangannya, Jurnal Info Singkat Vol. X, No. 06/II/Puslit/Maret/2018, hal 2

[2] Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech), (Jakarta: Kepolisian Negara Republik Indonesia Markas Besar, 2015), hal 2.

[3] W. Friedmann, Teori & Filasafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), Judul Asli: Legal Theory, Penerjemah: Mohamad Arifin, Cetakan Kedua, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), hal. 170

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun