Mohon tunggu...
Elina Zahra
Elina Zahra Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa Magister, Spesialisasi Hukum Pidana dan Hukum Ekonomi

Advokat Magang yang mencintai proses sebuah penelitian ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Para Peduli Seni yang Terlambat Menyelamatkan Seni

26 Agustus 2020   00:05 Diperbarui: 26 Agustus 2020   00:44 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Suara Rakyat adalah Suara Tuhan” istilah Vox Populi Vox Dei sendiri tercatat digunakan pertama kali oleh Alcuin dalam suratnya kepada Maharaja Charlemagne di penghujung abad ke-8. 

Dalam surat itu Alcuin memperingatkan sang raja untuk waspada kepada orang-orang yang menjadikan kata-kata tersebut sebagai jargon gerakan demokratisasi, yang akan mengancam kekuasaan sang raja. 

Sekian lama setelah surat Alcuin, istilah ini justru secara ikonik pernah dipopulerkan oleh Uskup Agung Walter Reynolds ketika muncul pergolakan terhadap Raja Edward II di abad ke-14, sebagai dukungan terhadap gerakan yang berujung lengsernya sang raja.

Konsekuensi dari penganutan ide ini adalah, bahwa pihak mana saja yang bisa memperoleh suara mayoritas, maka ia memperoleh semacam “legitimasi spiritual”, bahwa ia menang atas kehendak Tuhan yang menggerakkan hati nurani mayoritas masyarakat. Implikasinya, muncul kecenderungan pandangan bahwa suara mayoritas merupakan suara Tuhan.

Suara berhubungan erat dengan rasa mendengar. Pada perkembangannya suara rakyat dianggap sebagai suara ketika mampu terdengar, unsur-unsur memenuhi sesuatu itu dianggap suara rakyat antara lain: Berada di gelombang 20 Hz sampai 20 kHz, diperdengarkan lewat media tertentu langsung ataupun tidak langsung, diizinkan untuk bersuara, dianggap layak untuk bersuara, lebih bagus bukan dari mereka yang minoritas pandangannya; falsafahnya; ideologinya; dan cara hidupnya, lebih bagus dari mereka yang sudah dianggap berhasil, lebih bagus dari mereka yang berkapasitas bersuara dalam bidangnya.

Maka izinkanlah penulis yang jauh dari bidang seni ini berusaha bersuara tentang seni sedikit saja tanpa meminta diakui telah menghasilkan suara. 

Seni itu apa dan bagaimana serta harus seperti apa dihargainya bagi mereka yang masih diberkahi kesempatan menikmati dan mengerti esensi seni, adalah hal yang dipegang erat ketika sedang menilai seni dan menilai siapapun yang sedang merespon seni. Sisanya adalah mereka yang memuji atau tidak memuji seni berdasarkan berhasil tidaknya seni mengaktifkan hormon-hormon baik yang dihasilkan tubuh sehingga merasa senang ketika bersentuhan dengan seni.

Lalu bagaimana jika saya katakan “Suara Rakyat (bukan) Suara Tuhan”, melainkan “Suara Rakyat adalah Seni”. Menurut Aristoteles, pengertian seni adalah suatu bentuk ungkapan dan penampilan yang tidak pernah menyimpang dari kenyataan, dan seni itu meniru alam. 

Senin 24 Agustus 2020, dipublikasikan dari channel youtube Bidin Dundum video durasi 35 menit dengan narasumber Agus Khairun Naim yang dikenal sebagai musisi Berau, Kalimantan Timur dengan Judul Ngobrol Musik : Degradasi Seni, yang judulnya saja sudah menarik para peduli seni memberikan sepatah dua patah katanya di dalam kolom komentar ditambah lagi jika para peduli seni itu mendengarkan dialog di dalam video hingga akhir, maka kalimat dalam komentar akan semakin merepresentasikan emosional positif si pemberi komentar.


Salah satu komentar yang menjadi sorotan adalah mengenai narasi tentang seniman akademis dan non akademis, kontemplasi, dan seniman kroco dari narasumber tersebut Mas Naim dalam video tersebut. Saya tidak akan mencoba memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan Mas Naim, yang saya dapat jelaskan disini bahwa peradaban manusia memang adalah tolak ukur bagaimana seni yang dihasilkan didalam peradaban itu karena sejalan dengan pemikiran aristoteles bahwa seni tidak pernah menyimpang dari kenyataan dan seni itu meniru alam.

Menurut Immanuel Kant, definisi seni adalah sebuah impian karena rumus-rumus tertentu tidak dapat mengikhtiarkan kenyataan. Kant berargumen, penalaran saja atau pengindraan saja tidak akan memberikan kita pengetahuan apapun. 

Sebaliknya, ia berpendapat bahwa pengetahuan manusia pada dasarnya di kondisikan (dibatasi) oleh kategori-kategori tentang pemahaman kita (yang antara lain: konsep sebab akibat) dan ketidak mampuan kita untuk mengalami apapun di luar kondisi ruang dan waktu tertentu. Sehingga jika suara para peduli seni masih banyak terdengar dan menunjukkan bahwa seni sedang baik-baik saja atau bahkan makin baik saja adalah hal yang bagi penulis dapat disebut suatu kewajaran, karena kemunduran seni macam apa yang dapat dideteksi ketika Suara Rakyat adalah Seni dan Seni tidak dapat menyimpang dari kenyataan serta keterbatasan pemahaman manusia terhadap eksistensi dan esensi seni itu sendiri.

Seni yang dihasilkan dalam masyarakat tertentu mungkin saja akan selalu dianggap baik-baik saja atau malah makin baik saja karena sesuai dengan kondisi ruang dan waktu dimana masyarakat itu hidup dan berkembang. Maka kata yang dipilih untuk merespon terhadap kebaruan seni adalah inovasi, modifikasi, eksplorasi, dan lainnya yang menunjukaan penerimaan bahwa sangat luasnya seni yang harus dihargai. 

Ketika seorang Agus Khairun Naim sebagai musisi Berau, Kalimantan Timur yang masih jauh bisa dikatakan seniman memilih kata “DEGRADASI” maka para peduli seni  dengan (dibatasi) kondisi ruang dan waktu hampir senada bersamaan dengan emosi positif nya optimis bahwa tidak ada yang ter-“DEGRADASI” dari seni yang dihasilkan pada saat ini.

Maka dari itu, saya berusaha menganalisis kenapa mampu keluar diksi DEGRADASI dari mulut Agus Khairun Naim, bisa saja dihasilkan melalui pendekatan filsafat dan penalaran beliau, yang pada dasarnya menurut Kant berfilsafat adalah tugas untuk melacak keterbatasan kita sendiri dan memperjelas apa yang kita bisa dan tidak bisa kita klaim tentang dunia. Tugas ini disebut Kant sebagai “Kritik”.

Murshal Esten (1993, hlm. 22), mengutip pendapat dari Simon kemoni, sosiolog asal Kenya mengatakan bahwa: “Globalisasi dalam bentuk yang dialami akan menghasilkan berbagai budaya dan nilai-nilai budaya. Globalisasi ini menciptakan berbagai tantangan dan permasalahan baru yang harus dijawab dan dipecahkan. Termasuk mengenai permasalahan kebudayaan yaitu kesenian tradisional yang semakin tersisihkan sebagai dampak dari globalisasi.”

Maka izinkanlah dibagian akhir penulis yang belum berani melempar pernyataan dan memilih mempertanyakan, Wahai para peduli seni, Bagaimana jika Efek Globalisasi terlewat begitu saja dan eksistensi seni asli masyarakat dalam suatu ruang dan waktu tersisihkan? apakah itu kemajuan atau kemunduran seni? dan bagaimana itu bisa dideteksi lewat Suara Rakyat Peduli Seni ketika kebaruan seni selalu dipuji dan lupa pada porsi mengkritik bahkan menolak kebaruan seni ? Para peduli seni mungkinkah akan terlambat menyelamatkan seni. SEKIAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun