Mohon tunggu...
Elina A. Kharisma
Elina A. Kharisma Mohon Tunggu... Guru - Berbagi hal baik dengan menulis

Seorang kutu buku dan penikmat musik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Terindah Versiku

22 Januari 2017   16:45 Diperbarui: 22 Januari 2017   17:01 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Aku selalu melakukan semuanya termasuk menulis dengan sungguh-sungguh seperti untuk Tuhan bukan cuma untuk kesenangan sendiri atau dipuji orang. Ketika aku hampir memetik hasilnya, aku malah harus menghadapi kenyataan pahit ini,” ucapku terbata-bata diiringi air mata yang tidak mampu aku bendung.

Dirapatkannya dirinya pada tubuhku yang terkulai di ranjang. Dia membantuku duduk lalu berkata, “Langit, hidup adalah perjalanan. Kita bisa merencanakan masa depan tetapi Sang Perancang Kehidupan mengatakan bahwa jalan-Nya bukanlah jalan kita dan rancangan-Nya bukanlah rancangan kita.

Ibu menghapus air mata yang membasahi pipiku dengan telapak tangannya. “Kita harus berbesar hati untuk mengatakan kalaukita ini hamba Tuhan yang siap menerima apapun seturut sabda-Nya. Jangan takut, Sayang, ibu akan selalu ada untukmu,” lanjutnya.

***

Untuk semua ada waktunya. Ada saatnya matahari bersemayam di tahtanya dan ada pula waktu baginya untuk kembali keperaduan. Saat senja mulai menyapa, aku melihat bapak pendeta dan istrinya datang menyalami ibuku. Ibu menyambut mereka dengan senyuman yang tipis dan singkat. Ketika membelakangi ibu, aku  melihat mata bapak pendeta digenangi air mata dyang ingin menyusup keluar dari pelupuk matanya. Aku juga pernah melihat ibu seperti itu.  Wanita hebat itu pernah menyembunyikan air matanya dariku.

“Ibu, aku lelah dengan semua pengobatan dan chemotherapy ini. Sudah empat tahun, Ibu, tetapi aku tidak tahu apakah aku akan sembuh atau tidak.”

Meskipun aku sudah berusaha untuk menahan emosiku sepertinya ibu masih dapat menangkap keputusasaanku.

Dia pun berkata, “Ibu bangga dan bersyukur karena kamu terus berjuang. Ingatlah, Langit. Tidak ada hidup yang tanpa perjuangan. Kamu tahu bahwa semua akan kembali kepada Sang Pencipta. Namun, kita tidak pernah tahu kapan waktunya. Suatu saat nanti, Sang Pemberi Kehidupan akan memanggil kita untuk pulang. Dia akan menyambut kita dengan pelukan terhangat dan senyuman termanis. Lalu Dia akan memuji karena kita telah setia. Setelah itu, kita pun akan bahagia di sisi-Nya.”

Wanita paruh baya yang aku kagumi akan keindahan hatinya itu menghela nafas panjang, lalu berkata lagi dengan suara yang gemetar, “Selama masih ada waktu, Ibu ingin kamu terus berjuang, Nak. Doa ibu akan bersamamu.”

Ibu pun berlalu, meninggalkanku sendiri yang sedari tadi sibuk memakai wig karena chemoteraphyyang rutin kujalani telah membuat rambut indahku tidak bertahan tertanam di kulit kepalaku. Aku yakin ibu memilih menjauh dariku karena dia tidak mau aku melihatnya menitikkan air mata.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun