Aku pun berkata kembali, “Ah, pasti ibu belum bisa melupakan ayah. Sudahlah, Ibu. Ayah pasti senang melihat ada orang yang menjaga ibu. Menurutku, ibu juga tidak perlu mencari cinta. Aku pikir Om Damar bisa menjadi suami yang baik. Dia juga sayang kepadaku.”
“Bukan begitu, Langit. Om Damar memang pria yang baik hati tetapi setiap kali ibu merasa hati ini dekat dengan Tuhan, maka ibu merasa lengkap dengan ataupun tanpa pendamping hidup.”
Begitulah ibu. Selalu membuatku kagum akan kebijaksanaan dan ketabahannya. Aku bangga mempunyai ibu yang tidak kehilangan harapan saat belahan jiwanya berpulang. Dia tidak menyibukkan diri dengan mencari cinta dari pria lain tetapi mencukupkan diri dengan cinta dari Sang Maha Pengasih. Sepeninggal ayah, tidak pernah aku melihatnya terpuruk. Memang aku sering melihatnya terjatuh saat menapaki hari-hari yang sulit. Namun, Tuhan begitu baik. Dia tidak hanya menopang ibu agar tidak tergeletak tetapi juga membantunya untuk bangkit dan menjadikannya wanita yang lebih kuat dari sebelumnya.Cinta dan harapannya pada Tuhan tidak pernah mengecewakannya.
***
Saat sang surya mulai berada di atas kepala. Aku melihat figur perempuan anggun memasuki rumah lalu duduk di sebelah ibu. Dia adalah Tante Ajeng, teman dekat ibu yang sudah dianggap sebagai adik kandungnya sendiri. Tante Ajeng merangkul ibu kemudian mengusap-usap punggung tangan sahabat karibnya itu. Aku yakin pelukan dan usapan penuh kasih seperti itu dapat menenangkan ibu yang terlihat lelah. Wajah dengan kelelahan yang sama pernah kulihat pada suatu sore yang membekas dalam ingatanku.
Saat itu, seberkas sinar menyilaukan pandanganku waktu mataku perlahan-lahan terbuka. Di hadapanku aku menemukan wanita yang paling aku cintai. Wajahnya tampak lelah namun masih terlihat seulas senyum menghiasi parasnya.
“Ibu,” kataku lirih.
“Iya, Sayang. Ibu ada di sini.”
Hatiku merasa teduh saat mendengar suara yang lembut penuh cinta. Aku merasa sebuah kecupan mendarat pada dahiku. Mataku terpejam sekali lagi. Tidak pernah aku rasakan letih yang seperti ini.
Hari demi hari berlalu. Kerabat dan teman datang silih berganti. Walaupun mereka tersenyum di depanku, aku masih bisa merasakan ada kegundahan yang mereka sembunyikan.
“Ibu, mengapa di saat aku bersemangat untuk menjalani hari sebagai seorang penulis aku harus sakit seperti ini? Apakah aku melakukan dosa berat hingga aku dihukum dengan penyakit yang bisa merenggut mimpiku?” kataku menyiratkan asa yang mulai terkikis setelah hampir dua minggu terbaring di rumah sakit.