Alhamdulillah kami bisa menentukan waktu yang tepat yang semua anggota rombongan bisa. Februari adalah waktu yang kami pilih.
Di bulan Januari, kami melaksanakan manasik. Tempatnya di sebuah vila di kawasan puncak, Bogor. Maklum saja, kawan suami berdomisili dan berkantor di daerah Cijeruk, Bogor.
Aku bersama anak sulung (Fauzan), anak ketiga (Shidqi), dan si bungsu (Akifa) di satu mobil. Sedangkan suami dan anak kedua (Adnan) satu mobil dengan tiga ustadz. Salah satu ustadz membawa juga dua putrinya. Bersyukur kapasitas mobilnya banyak, meskipun sedikit berdesakan.
Kakak perempuanku (Kang Yuhan) yang tinggal di Cirebon pergi diantar dua adik kami. Si perempuan bungsu (Titin) dan si bungsu (Dedi). Ikut dalam rombongan juga anak bungsu Kang Yuhan yaitu Afkar dan bungsunya Titin, Razeev.
Saat ketemu di tempat manasik, suasana luar biasa ramai dan heboh. Biasalah, adikku, Titin, selalu ramai di mana pun. Apalagi ketemu dengan semua anak-anakku. Semakin kehebohannya menjadi. Dia hampir nangis karena ingin juga bisa pergi umroh tiga bersaudara (Kang Yuhan, aku, dan Titin). Semoga Allah menakdirkan suatu saat kami bisa beribadah di tanah haram bersamaan. Amin.
Di sana hadir juga beberapa calon jamaah lain. Kami saling berkenalan, bertegur sapa, dan saling menanyakan lokasi tinggal.
Acara manasik pun dimulai pada sore hari selepas Asar. Kami mendapatkan informasi tentang semua hal perihal peribadatan umroh hingga tata cara penggunaan kain ihram bagi laki-laki.
Acara terhenti karena kumandang azan Magrib. Setelah salat Magrib kami melanjutkan acaranya. Kali ini membahas tentang run down acara, dari pergi, lantas ke Turki, hingga pelaksanaan umroh.
Di bulan Januari itu, Turki beberapa kali mengalami gempa. Beritanya cukup membuat orang cemas. Banyak korban yang terperangkap dalam bangunan. Sebagian selamat, ada yang luka-luka, dan tidak sedikit juga yang meninggal.
Paska kami manasik, paginya kami mendengar berita buruk itu lagi. Ya, gempa di negara Turki, negara yang akan kami kunjungi. Kawan suami masih memiliki ibu. Usianya memang sudah sepuh. Mendengar berita gempa itu, beliau melarang anaknya (kawan suami) untuk meneruskan rencana berkunjung ke Turki.
Demi menaati perintah seorang ibu, akhirnya paginya kami menadakan rapat dadakan. Menentukan keputusan akhir.