"Oh, silakan, Bu." Jawabnya ramah.
Aku duduk dan segera membuka plastik hadiah dari ibu tadi. Sebuah baju bermotif bunga salem dan kerudung. Itu adalah hadiah yang tadi diberikan oleh putri ibu tadi. Sebuah amplop terselip di dalamnya. Aku membuka amplop itu. Lembaran uang berwarna merah terpampang di depan mataku. Banyak sekali. Entah berapa jumlahnya.
'Tuhan, Engkau Mahabaik. Maafkan aku yang selama ini banyak mengeluhkan keadaan ini.' Ucapku dalam hati. Hujan air mata tak mampu kubendung. Kudekap anakku yang masih tak paham dengan apa yang terjadi.
"Ibu! Ibu kenapa? Ini saya bawakan nasi dan minum untuk Ibu dan Adek." Lelaki berpeci hitam itu membungkukkan badannya.
"Apakah karena hari ini hari ibu, lalu Bapak memberi saya hadiah?" tanyaku penasaran.
"Oh, tidak, Bu. Tidak ada istilah hari ibu dalam agama kami. Setiap hari kami menyediakan makan siang bagi siapa pun yang membutuhkan. Besok-besok, Ibu boleh kembali ke sini pada jam makan siang. Insyaallah akan kami sediakan ala kadarnya." Terang lelaki perpeci hitam lagi.
"Pak, boleh saya meminta satu lagi?"
"Silakan, Bu. Mudah-mudahan saya bisa memberikannya."
"Bisakah Bapak membantu saya? Saya ingin masuk dalam agama Bapak," ucapku penuh keyakinan.
"Subhaanallah walhamdulillah, tetapi, Bu, apakah Ibu sudah yakin dengan keputusan Ibu?"
"Yakin sekali, Pak. Saya ingin tahu lebih banyak agama Islam. Tolong, Pak, bantu saya."