Waktu terasa begitu cepat berlalu, saat ini kita sedang menjalani bulan September 2019, di gereja-gereja mulai sibuk mempersiapkan perayaan Natal. Dalam waktu yang tidak lama lagi kita kembali merayakan Natal. Bagi umat Kristiani hari Natal merupakan saat istimewa yang dirayakan secara khusus, hari yang penuh keceriaan. Merayakan Natal merupakan peringatan akan penggenapan nubuat para nabi-nabi tentang lahirnya Juruselamat dunia yaitu Yesus Kristus.Â
Di wilayah Nias, Â Natal dirayakan selama tiga hari berturut-turut, biasanya mulai tanggal 24-26 Desember setiap tahunnya, dan puncak perayaan itu pada malam pergantian tahun. Sudah menjadi kebiasaan bahwa pada tiga hari tersebut tidak ada orang yang sibuk keluar rumah untuk bekerja. Semua orang fokus pada perayaan Natal bersama keluarga, ada yang mengunjungi keluarga, kerabat dan ada yang mengikuti perayaan Natal di gereja. Dalam masa ini setiap orang Nias mengucapkan salam kepada seseorang atau dalam forum resmi dengan kalimat "Ya'ahowu Fanunu fandru". Bagi orang dari suku Nias, Natal adalah berkat (howuhowu), yang datang dari Allah bagi manusia, maka patut dirayakan dengan sukacita.
Istilah "Fanunu Fandru" bukan berasal dari istilah Kristen atau Alkitab. Menurut P. Johannes M. Hmmerle, OFMCap, "Istilah Fanunu Fandru pada dasarnya bukan Kristiani karena istilah ini sudah dipakai oleh penduduk pulau Nias sebelum masuk agama Kristen. 200 tahun  belum ada minyak tanah di Nias. Agak gelap di rumah. Tetapi sejak dulu setiap tahun setiap marga atau rumpun (si sambua mo'ama) berkumpul dan mengadakan Famoni empat hari lamanya. Famoni ini tidak berarti berpuasa, sebaliknya mereka makan enak. Tetapi mereka melakukan Famoni dalam arti tidak pergi ke ladang dan tidak bekerja. Lantas apa tujuan mereka? Empat hari lamanya mereka menuturkan asal usul mereka sampai jauh malam. Böröta gotari gotara, asal usul mereka, harus ditanam dalam hati generasi muda dan harus diperingati dan dirayakan setiap tahun. Inilah syarat mutlak bagi mereka supaya tradisi lisan tidak putus. Sebelumnya minyak kelapa sudah diisi dalam lampu kecil. Dan kalau lampu kecil ini dinyalakan di malam hari, hal ini mereka menyebut Fanunu Fandru. Sebagai orang Kristen kita sekarang sudah mempunyai Böröta Gotari Gotara yang baru."[1] Jadi istilah 'Fanunu Fandru' bukan istilah Kristen tetapi istilah yang diadopsi dari kebiasaan orang Nias pada saat menceritakan silsilah keluarga atau sejarah (böröta gotari gotara).
Menarik untuk di kaji mengapa orang dari suku Nias menyampaikan ucapan 'Selamat Natal' dengan menggunakan kalimat "ya'ahowu fanunu (wanunu[2]) fandru". Secara hurufiah kalimat tersebut terdiri dari tiga kata yaitu 'ya'ahowu' berarti 'selamat'; 'fanunu' berarti 'menyalakan'; dan 'fandru' yang berarti 'lampu'. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia secara leterlek maka tiga kata tersebut berarti "selamat menyalakan lampu". Meskipun demikian setiap kali orang Nias menggunakan sapaan atau salam "Ya'ahowu Fanunu Fandru", sapaan itu tidak dimaksudkan "selamat menyalakan lampu" tetapi semua orang Nias paham dengan sangat bahwa yang maksudkan dengan salam itu adalah "Selamat Natal". Makna dari ungkapan selamat Natal yaitu sebuah harapan agar pada hari Natal semua kita mengalami kasih dan damai sejahtera dari Tuhan.
Ungkapan atau sapaan "Ya'ahowu Fanunu Fandru" tersebut sudah menjadi kebiasaan orangtua sejak jaman dulu, turun temurun menjadi kebiasaan bagi generasi ke generasi sampai saat ini. Bagi kita anak-anak orang Nias yang hidup di era milenial, yang mungkin tidak pernah melihat lampu minyak kelapa lagi, lampu teplok dan petromaks, tentu akan bertanya, apakah hubungan antara "menyalakan lampu" dengan Natal (kelahiran Yesus Kristus)? Sebagai seorang putera Nias, saya membahas topik ini secara khusus agar makna Natal yang diterima langsung dan dipahami oleh nenek moyang orang Nias dari para Zending, dapat dimengerti oleh generasi di era modern ini. Generasi milenial tidak dapat memahami konteks masyarakat Nias pada awal Injil masuk wilayah itu, karena situasi Nias kini telah jauh berbeda. Melalui tulisan ini, saya mengharapkan bisa menjembatani suatu gap yang terjadi akibat rentangan waktu, dan kemajuan atau perkembangan dibidang teknologi, pengetahuan, spiritualitas dan sosial budaya, antara generasi terdahulu dengan generasi milenial. Tulisan ini sekaligus mengusulkan istilah yang tepat untuk digunakan berhubungan dengan sapaan atau salam dalam konteks perayaan natal tanpa mengubah makna aslinya.
Awal mula Perayaan Natal di pulau Nias seiring datangnya para missionaris dari Eropa. Kebiasaan merayakan Natal di Pulau Nias telah dimulai sejak masuknya para missionaris dari Jerman dan Injil diterima oleh penduduk setempat. Th. Van Den End dalam Ragi Carita : 2001, menjelaskan bahwa "Injil masuk ke Nias melalui Misi Protestan pada tahun 1865 oleh penginjil Jerman, E. Ludwig Denninger dari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) pada tanggal 27 September 1865. Penerjemahan Alkitab dalam bahasa daerah Nias, seperti yang masih dipakai sekarang dilakukan oleh penginjil H. Sundermann, dengan bantuan Ama Mandranga dan beberapa orang Nias lainnya (Injil Lukas, 1874; PB, 1891)." Kemungkinan besar penerjemahan Alkitab versi bahasa Nias merupakan transmisi dari Alkitab berbahasa Jerman. Dari berita Injil yang diterima oleh penduduk setempat, penduduk Nias mendapat pemahaman mengenai kelahiran Sang Juruselamat dunia. Sebagaimana misi Yesus Kristus membawa keselamatan bagi dunia, hal itu merupakan kabar baik yang perlu disambut dengan sukacita. Â Manusia yang masih berada dalam kegelapan karena terikat oleh dosa, melalui Sang Juruselamat, Yesus Kristus memperoleh kelepasan. Â Bisa dikatakan bahwa perayaan Natal di daerah pulau Nias merupakan adopsi langsung dari kebiasaan perayaan natal ala Eropa.
Alasan yang yang diungkapkan oleh Johanes bahwa istilah "fanunu fandru" bukan istilah Kristen, memang tepat dan juga praktek menyalakan lampu (fanunu fandru) dengan bahan bakar minyak kelapa memang sudah kebiasaan masyarakat di pulau Nias sejak dahulu. Bagaimanapun juga, masyarakat Nias setiap malam harus menyalakan lampu di rumah masing-masing sebagai alat penerang, meski bukan acara khusus. Tidak bisa dipungkiri pula bahwa adanya peralihan inti dari kebiasaan orang Nias menceritakan silsilah keturunan (böröta gotari gotara), dan diganti dengan pembacaan silsilah kelahiran Yesus Kristus berdasarkan Injil Lukas pada masa perayaan Natal. Alasan lain yang umumnya sering kita dengar  jika membahas topik ini yaitu istilah "fanunu fandru" muncul karena adanya penyalaan lilin dalam setiap perayaan Natal, sebagai puncak acara dalam perayaan tersebut. Memang benar bahwa setiap perayaan Natal selalu disertai dengan penyalaan lilin Natal sebagai simbol terang yang hadir di tengah kegelapan. Hal ini menyerupai tindakan Allah menjadi manusia di dalam Yesus Kristus, untuk menerangi manusia yang berada dalam kegelapan. Namun kedua alasan tersebut bisa dikatakan sebagai asumsi yang dihubungkan dengan peristiwa Natal, karena istilah "fanunu fandru" tidak ada kaitannya dengan kelahiran (fa'atumbu) Yesus Kristus.
Ungkapan "Ya'ahowu Fanunu Fandru" untuk menyatakan "Selamat Natal", sebenarnya berkaitan langsung dengan perkembangan teknologi dan ekonomi. Pada saat ini pulau Nias merupakan salah satu daerah yang masih berada dalam kategori terbelakang atau tertinggal dalam hal kemajuan dalam berbagai aspek, jika dibandikan dengan wilayah lain di Indonesia . Bila situasi sekarang kita bandingkan dengan tahun 1865, waktu kedatangan para misionaris Jerman, tentu jauh lebih terbelakang lagi. Ketika mendengar kisah kehidupan orangtua dulu dari ayahnda (D. Hulu / Ama Meli Hulu), yang pada saat ini sudah berumur 78 tahun, saya baru mengerti mengapa ungkapan "ya'ahowu fanunu fandru" dihubungkan dengan perayaan Natal.Â
Sekitar 70-an tahun lalu, pada masa penjajahan Belanda dan selanjutnya oleh Jepang, pada malam hari rumah-rumah orang Nias gelap gulita. Bila ada lampu yang menyala di suatu rumah itu pasti lampu berbahan bakar minyak kelapa, sebab pada masa itu belum tersedia minyak tanah di daerah pulau Nias. Pada perkembangan setelah itu, orang Nias mengenal lampu teplok yang pakai cerobong kaca dengan bahan bakar minyak tanah. Selanjutnya masyarakat Nias mulai mengenal lampu petromaks. Di masa itu pun lampu petromaks hanya dimiliki oleh orang tertentu saja dan jarang dinyalakan karena bahan bakar minyak tanah yang sangat terbatas. Pada setiap hari perayaan Natal, biasanya bagi keluarga yang memiliki lampu petromaks di rumahnya, masing-masing membawanya ke gereja. Sehingga pada malam perayaan itu rumah ibadah (gereja) terang benerang, karena banyaknya lampu petromaks yang dinyalakan.
Menyalakan lampu petromaks merupakan pengalaman istimewa di tahun 1900-an, sebab merupakan peristiwa sekali dalam setahun, dan hanya dinyalakan pada saat perayaan Natal saja di gereja. Sampai pada waktu saya masih remaja, anak-anak sebaya saya dulu berbondong-bondong ke gereja pada saat perayaan di malam Natal untuk melihat dan bermain di bawah cahaya terang lampu petromaks. Dalam Kamus Li Niha, Apolonius Lase menjelaskan bahwa "Istilah Fanunu Fandru berkaitan erat dengan kebiasaan orang Nias sejak dahulu hingga sekarang bahwa pada saat Natal tersebut lampu -- biasanya lampu petromaks dinyalakan hingga larut malam".[3] Pengalaman yang hanya bisa terjadi sekali setahun itu, merupakan hal yang unik dan istimewa pada masa itu. Perayaan Natal seolah identik dengan penyalaan lampu. Lampu petromaks yang menyala terang mirip cahaya lampu listrik, menjadi daya tarik bagi banyak orang untuk berbondong-bondong, bersukacita merayakan Natal di bawah terangnya cahaya lampu petromaks. Dalam perayaan Natal ada dua benda sumber cahaya yang dinyalakan yaitu lampu petromaks dan lilin natal. Dua barang itu merupakan barang baru dan istimewa yang baru dikenal dan langka jaman itu khususnya di wilayah pulau Nias.
Bagi generasi milenial yang telah mengalami kemajuan teknologi modern dengan menggunakan lampu listrik sebagai alat penerang, dua macam benda petromaks dan lilin merupakan benda biasa yang tidak terlalu penting. Tetapi pada jaman dulu meskipun lampu petromaks dan lilin tidak dianggap sebagai benda yang sakral namun dua benda itu merupakan simbol terang yang disambut pada perayaan Natal. Pada dasarnya semua orang menyukai terang, karena terang dapat menerangi kegelapan, kehadiran terang melenyapkan kegelapan. Demikian juga kelahiran Yesus Kristus sebagai terang dunia, yang melenyapkan kegelapan bagi manusia. Seperti dicatat dalam Injil Yohanes 8:12, Maka Yesus berkata pula kepada orang banyak, kata-Nya: "Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup." Kelahiran Yesus Kristus disambut dengan sukacita karena mendatangkan kebahagiaan bagi orang yang percaya.
Bila merenungkan napak tilas dari situasi yang dialami orangtua kita dulu, kita dapat membayangkan pengalaman hidup mereka dimasa itu, penuh dengan perjuangan yang luar biasa. Mungkin ada rasa enggan untuk mengenang dan menceritakan kisah semacam ini, namun itulah fakta yang sudah kita lalui sebagai orang Nias. Secara pribadi saya bangga menjadi orang Nias, dan kita harus bangga karena lahir sebagai "Ono Niha" (suku Nias). Kisah-kisah tersebut yang justeru memunculkan kebanggaan tersendiri sebagai orang Nias, yang punya semangat juang yang tinggi untuk hidup, tidak menyerah karena situasi-situasi sulit. Sebaliknya situasi berat tersebut menempa kita semakin tangkas dan mandiri. Jadi ungkapan "ya'ahowu fanunu fandru" terkait erat dengan situasi dan pengalaman khas orangtua (nenek/kakek) kita pada konteks masa lalu.
Bila kita membandingkan ucapan 'selamat natal' dalam berbagai bahasa daerah maka ungkapan salam itu selalu memiliki keterkaitan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Natal. Ungkapan Selamat Natal dalam beberapa  bahasa menurut kebiasaan: "Marry Christmas" (Inggris); Frohe Weihnachten! (Jerman); Feliz Navidad! (Spanyol); Zalig Kerstfeest (Belanda); Eftihismena Christougenna! (Yunani); Merii Kurisumasu! (Jepang); Marhaban ya Natalir! (Arab). Kata "natal" berasal dari ungkapan bahasa Latin Dies Natalis (Hari Lahir). Dalam bahasa Inggris perayaan Natal disebut Christmas, dari istilah Inggris kuno Cristes Maesse (1038) atau Cristes-messe (1131), yang berarti Misa Kristus. Christmas biasa pula ditulis 'mas, suatu penyingkatan yang cocok dengan tradisi Kristen, karena huruf X dalam bahasa Yunani merupakan singkatan dari Kristus atau dalam bahasa Yunani Chi-Rho.[4] Selanjutnya mari kita melihat beberapa ucapan Selamat Natal dalam berbagai bahasa daerah di Indonesia:
- Â Bahasa Ambon: Salamat Natal, voor tamang2 & basudara samua.
- Â Bahasa Suku Banjar: Salamat Natal Gasan Kita Berataan
- Â Bahasa Batak Karo: Selamat Wari Natal atau Selamat Memperingeti Ketubuhen Tuhan Yesus
- Â Bahasa Batak Toba: Selamat Ari Natal Tu Hamu Saluhutna.
- Â Bahasa Batak: Horas Selamat Natal ma di hita sasude na.
- Â Bahasa Betawi: Met Natal ye buat kite semuanye, moge-moge ni natal bawa damai dah.
- Â Bahasa Dayak Ma'anyan: Salamat Anrau Barasis...Tuhan nyindrah takam katantuluh ni.
- Â Bahasa Dayak Ngaju: Salamat Pesta Alem Barasih, Tuhan Yesus Mamberkat Itah Sining Katika.
- Â Bahasa Jawa: Sugeng Natal, Gusti Merkahi Kita Sedoyo
- Â Bahasa Jawa: Wilujeng wiyosan Gusti Yesus.
- Â Bahasa Manado: Slamat NATAL for torang samua
- Â Bahasa Manggarai Flores: Tabe Natal agu ntaung weru.
- Â Bahasa Nias: Ya'ahowu Fanunu Fandru.
- Â Bahasa Sumba Barat: Salamat natal...mori Yezu na pamaringi pamalala nda
- Â BahasaToraja: Salama' Allo Kadadianna Puangta Puang Yesu
Memang tidak ada yang salah dengan penggunaan istilah "Ya'ahowu Fanunu Fandru", demikianlah orangtua kita jaman dulu dalam mengekspresikan penghayatan iman mereka. Namun dalam dunia yang berkembang pesat sekarang ini, dikenal sebagai era teknologi industri 4.0, apakah masih relevankah ungkapan "ya'ahowu wanunu fandru"? Sementara generasi milenial tidak lagi mengenal lampu minyak kelapa, lampu teplok dan lampu petromaks. Teknologi energi listrik sendiri, telah digunakan sebagai alat penerang oleh masyarakat di sebagian wilayah Nias sejak tahun 1990-an. Selain itu, di sepanjang terjemahan Alkitab bahasa daerah Nias tidak terdapat istilah "fanunu fandru" yang berkaitan langsung dengan kelahiran Yesus Kristus. Istilah yang dipakai Alkitab dalam bahasa Nias untuk kelahiran Yesus Kristus (Natal) menggunakan kata 'fa'atumbu Yesu', misalnya Lukas 2:11 "Ma'okho andre no tumbu ba mbanua Dawido, Razo Sangorifi, ya'ia Keriso So'aya." (TB: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud). Jadi menurut hemat kami, terdapat suatu nisbah yang besar antara istilah Selamat Natal dengan 'Ya'howu Fanunu Fandru'. Maka ungkapan yang memiliki pengertian yang lebih dekat dan mengena dengan makna Natal, yaitu YA'AHOWU WA'ATUMBU YESU KERISO atau YA'AHOWU NATAL. Selamat menyongsong masa perayaan Natal 2019 dan Tahun Baru 2020, Tuhan Yesus Menyertai Kita, Saohagölö.
Â
Sumber:Â
 Alkitab Bahasa Indonesia Terjemahan Baru 1974 (LAI)
 Alkitab Versi Bahasa Nias (LAI)
 End Th. Van Den, Ragi Carita : 2001
 Zega, Apolonius, Kamus Li Niha, Gramedia: 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H