Berlibur ke desa wisata bukan hanya soal liburan, tapi juga soal bermakna dan berkontribusi.Â
Mengapa saya sampaikan seperti ini?
Tahukah anda? Sejak saya sering berkunjung ke desa-desa wisata, karakter saya menjadi berubah.Â
Dari Karakter warga perkotaan yang dituntut bekerja cepat, bekerja sempurna,harus meeting di coffee shop yang berkelas, bahkan bagi saya seorang perempuan, dress code untuk berbeda kegiatan dapat membuat saya stress.
Saya cenderung tidak memikirkan orang lain selama di jalan, bahkan kurang komunikasi dengan tetangga. Tetapi sekarang saya dapat belajar dari kehidupan masyarakat desa yang bahagia dengan kesederhanaan.
Ini menjadi refleksi diri saya untuk mengurangi ketergantungan pada kehidupan serba cepat dan konsumtif di kota.
Selama ini kita sibuk berkutat dengan layar monitor, layar handphone, bising dengan suara kendaraan, sehingga kita tidak sempat melihat keindahan alam di langit, di taman rumput, atau pantulan cahaya sore karena kita terlalu sibuk dengan keseharian yang monoton dan dikejar deadline.
Tetapi ternyata desa mampu memberikan saya Ritme Hidup yang Lebih Lambat, sehingga sebagai wisatawan, kita diberi kesempatan untuk menikmati momen tanpa terburu-buru misalnya minum kopi sambil menunggu matahari tenggelam, inilah kenikmatan yang saat ini menjadi tren yang disebut sebagai slow travel.
Dalam artikel ini saya ingin berbagi cerita bahwa dengan adanya wisata ke desa akan memberikan dampak yang baik atau win-win bagi kedua belah pihak, baik bagi wisatawan dari kota yang bisa mendapatkan ketenangan dan pengalaman baru tetapi juga dampaknya dirasakan oleh masyarakat desa yang dapat terbantu dalam peningkatan ekonomi lokal dan pelestarian alam serta budaya.
Bagi masyarakat perkotaan, wisata ke desa bukan lagi sekadar pilihan, melainkan bagian dari tanggung jawab sosial dalam bentuk liburan.