Gadis itu duduk bersandar disebuah bangku panjang dibawah sebatang pohon besar yang rindang, dengan mata terpejam wajahnya mendongak kelangit yang terhalang tumpukan dedaunan hijau yang melekat pada setiap ranting pohon itu. Dari sebuah kafe di sebrang jalan muncul gadis seusianya dengan membawa dua cup berlogo kafe tersebut, berjalan kearahnya menyebrangi jalan yang tidak terlalu ramai. Gadis tersebut segera menyerahkan satu cup yang berisi minuman yang dibeli dikafe seberang pada gadis yang masih mendongakan wajahnya kelangit dengan mata tertutup.
Gadis itu membenarkan posisi duduknya menegakan punggungnya dan berhenti mendongakkan kepalanya. Ia pun segera menjulurkan tangannya meraih minuman dari temannya. Temannyapun segera duduk disebelah gadis itu setelah menyerahkan cup tersebut.
"Sampai kapan kamu seperti ini terus?"
"Entahlah."
Jawab singkat gadis itu.
"Apa gak ada yang ingin kamu lakukan selain kaya gini terus?"
"Belum kepikiran."
Pertannyaan temannya langsung dijawabnya.
"Gak mau nyari tahu apa gitu yang pengen kamu lakuin?"
"Gak Tahu"
Jawab gadis itu, lalu kembali menyedot minumannya.
"Sedih boleh, tapi gak bisa begini terus. Masa lalu itu dikenang, bukan jadi batu sandungan dimasa kini atau masa depan."
Temannya memberikan nasehat pada gadis itu yang telah berlarut-larut dalam kesedihan selama berminggu-minggu.
"Sudahlah, panas. Aku mau pulang. Kamu mau pulang kapan?"
"Bentar lagi lah."
"Ya udah aku duluan. Gak tahan gerah, mau mandi."
"Heh iya."
Gadis itu pun ditinggalkan temannya pergi. Ia kembali mendongakkan kepalanya, namun kali ini dibiarkan matanya terbuka menatap langit biru dari sela-sela dedaunan rimbun pohon yang berdiri kokoh dibelakang bangku yang didudukinya. Satu persatu dedaunan jatuh setiap kali angin berhembus. Ia pun mengangkat tubuhnya berdiri dan mulai berjalan.
Gadis itu terus berjalan perlahan sambil terus memperhatikan kesekeliling dan sesekali ia menghentikan langkahnya tiap ia tertarik pada sesuatu yang tertangkap matanya. Setiap kali menatap objek yang menurutnya menarik ia berdesis dalam hati.
Aku tidak mengerti tentangmu, tentang apapun itu. Tapi mengapa kepergianmu menyisakan luka bagiku?.
Padangan gadis itu beralih kearah jalan menuju tempat yang ia tuju, dalam hatinya masih terus bergumam sepanjang jalan.
Bukankankah sebelum kau hadir dihidupku, aku baik-baik saja tanpamu?
Tapi mengapa setelah kau datang dalam hidupku, aku tak baik-baik saja menerima kepergianmu.
Gadis itu masih melangkah pelan, perlahan matanya mulai berkaca-kaca sebelum pada akhirnya ia tak kuasa menahan air matanya.
Siapa kau sebenarnya? Hingga berani-beraninya membuat aku begini.
Bagaimana mungkin aku terus menangisi kepergianmu, sementara kau bukan siapa-siapa bagiku.
Gadis itu mulai tak kuasa menahan emosinya, iapun menghentikan langkahnya dan perlahan terduduk dengan posisi jongkok dengan muka ditekuk diantara kedua dengkulnya. Sambil menangis tersedu-sedu ia masih memaksakan hatinya.
Apa hebatnya dirimu hah?Â
Bahkan es krim yang kau belikan untukku tak sebanding dengan yang dibelikan ayahku.
Apalagi cinta katamu itu, tak ada apa-apanya jika dibandingkan Ibuku.
Gadis itu mengusap air mata dengan lengan panjang bajunya. Ia mencoba mengendalikan diri menahan tangisnya yang hampir memecah kedamaian hari.
Kenapa kau bodoh sekali?
Apa kau pikir aku ini bisa membaca hati orang lain?
Bagaimana mungkin kau hanya mengatakan jika kau mencintai sesorang tanpa menyebut nama.
Apa gunanya buku harianmu itu.
Teramat panjang cerita yang kau tulis disana, namun tak pernah kau tulis nama siapapun disana.
Jangankan pada orang lain, pada benda matipun kau enggan mengungkapkan. Kau selalu menyimpan rahasia.
Â
Gadis itu memaksa tubuhnya berdiri dan mulai berlari secepat yang ia bisa.
Jika ingin terus merahasiakannya, lalu mengapa kau tulis namaku diakhir cerita di buku harianmu.
Satu kata yang kau tulis dalam ceritamu membuatku seolah kata-kata "Langit seperti akan runtuh" nyata bagiku.
Â
Gadis itu terus berlari sambil menangis tersedu-sedu, seolah sesak dihatinya yang menggunung telah membeku dan cair menjadi air bah yang tak terkendalikan. Air matanya yang tertumpah sudah tak terhitung, kelopak matanya mulai membengkak, dan malangnya jarak pandangannya mulai berkurang hingga akhirnya ia tersungkur terjatuh menghantam ashpal jalan.
Sial.
Apa gunanya kau menjagaku, jika pada akhirnya membiarkanku terluka juga.
Seharunya kau tidak pernah menulis namaku disana.
Aku tak peduli jika kau harus terluka sedirian.
Itu lebih baik.
Daripada begini kau buat aku merasa bersalah tanpa memberiku kesempatan untuk memperbaikinya. Atau setidaknya kau biarkan aku begini setelah kata maaf kuucapkan padamu.
Gadis itu menangis semakin menjadi-jadi sambil menggenggam erat sikunya yang terluka tergores ashpal.
Lihat aku, lihat aku sekarang. Jika kau bisa melihat aku sekarang, aku benar-benar berantakan.
Lalu siapa yang akan membantuku membenahinnya.
Â
Gadis itu terisak, menahan tangisnya yang meluap-luap.
Aku tidak pernah menyakitimu.
Kau yang menyakiti dirimu sendiri.
Lalu kenapa aku harus ikut terluka denganmu. Dan kau hanya membiarkan aku terluka terluka sendirian.
Â
Energi dan tenaga yang dimiliki gadis itu habis digunakannya meluapakan gunung-gunung es dihatinya. Sadar sudah tak berdaya, ia segera mengambil ponsel dari saku celana trainingnya.
"Aku udah gak sanggup."
Ucap gadis itu pada sesorang diujung panggilan ponselnya dengan nada terengah-engah dan terisak-isak menahan tangis.
Setelah mengatakan kata itu berkali-kali, ia melepas ponsel dari gengamannya dan membiarkan ponselnya terjatuh membentur ashpal jalan. Ia mengatur napasnya, menghapus air matanya dan perlahan mulai mengendalikan emosinya yang sempat meledak tak karuan.
Beberapa saat kemudian, seorang gadis yang memberikannya se-cup minuman tiba dengan penampilan yang berbeda.
"Kamu kenapa?" Berlari keluar mobil menghapiri gadis itu. "Huh dasar tukang jatoh. Liat, udah berapa bekas luka dibadan kamu."
"Sakit....."
"Ya ela. Harusnya kamu tuh dah kebal, udah gak mempan kalau cuman ashpal doang."
"Eum..."
"Udah ayo, kita pergi."
Merekapun masuk kedalam mobil dan berlalu meninggalkan tempat itu.
Gadis yang kesakitan itupun dibawa temannya pergi.
"Gak sesakit itu kan?"
"Itu gak bisa dibandingkan."
"Heuh. Kalau gitu kamu gak harus ngerengek, kamu gak akan mati cuman karena luka kegores ashpal doang."
"Sama-sama gak mematikan tapi bekasnya akan selalu membekas."
Teman gadis itu menggodanya yang terluka hati dan tubuhnya, dan keduanya membirakan kedua jenis luka yang dialami gadis itu menetap untuk waktu yang tidak pernah tahu sampai kapan.
"Kenapa kamu masih bungkam?"
Temannya melirik gadis itu yang duduk disebelahnya menatap keluar jendela sambil mengemudi mobilnya.
"Karena ini terlalu menyakitkan."
"Kalau terlalu menyakitkan, kan bisa berbagi. Biar gak terlalu menyesakkan setidaknya."
"Tidak akan."
Tolak gadis itu untuk menceritakan perasaannya yang teluka pada temannya itu.
Aku tidak akan menceritakan cerita ini pada siapapun, tentang siapa yang membuatku begini. Biarlah cerita ini tanpa nama agar tak ada yang merasa sehingga tak ada yang perlu terluka sepertiku hanya karena namaku.Â
Itu benar-benar menyakitkan hingga aku tidak pernah ingin membaginya pada siapapun.
Hari itu, aku benar-benar menyedihkan. Bahkan langit enggan menangis bersamaku, seolah kesedihan diseluruh dunia ini dilimpahkan kepadaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H