Mohon tunggu...
Elias Sumardi Dabur
Elias Sumardi Dabur Mohon Tunggu... Wiraswasta - Profile Singkat

Konsultan hukum dan advokat. Founder Akuity Law Firm. Owner dan host kanal youtube.com/EliasDaburNote. Memperoleh pendidikan Bahasa Perancis dari UGM, dan Ilmu Hukum dari Univ. Suryadharma, Jakarta. Punya minat besar dlm menulis perihal politik, kisah inspiratif, pengembangan kepemimpinan, dan spiritual. Lama berkecimpung dlm organisasi kemahasiswaan intra dan ekstra kampus (Sekjen PP PMKRI 2005-2006). Pernah bekerja sbg Tenaga Ahli salah satu Anggota DPR dan Legal Officer PT. Griya Apsari Persada. Selain itu, sempat merintis usaha penulisan/penerbitan buku-buku: pengembangan diri, Kisah inspiratif/motivasional dan hubungan ketuhanan. Buku pertama yang diterbitkan atas nama sendiri; BE A LEADER. Investasikan Kepemimpinan Anda! Seiring perjalanan hidup, saya memberi nama atau julukan baru bagi diri saya; " SANG PEMBELA" untuk menunjukan diri sebagai pejuang keadilan dan kebebasan. Keterlibatan saya dalam gerakan politik, minat saya dalam mendorong, memotivasi semata-mata expresi kelimpahan cinta. Karena Saya tumbuh dan besar sebagai pribadi yang kelimpahan cinta.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Halifah dan Dalilah, Kisah Korban Mafia Tanah

4 November 2024   14:26 Diperbarui: 4 November 2024   15:23 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

     Halifah dan Dalilah (H dan D). Menyebut salah satu dari kedua nama ini, Dalilah hampir mirip dengan judul lagu Delilah yang dibawakan oleh Sir Tome Jones. Tapi, jangan membayangkan Delilah yang dimaksudkan dalam tulisan ini seperti Delilah yang dibunuh kekasihnya karena kedapatan berselingkuh. Delilah dan Halifah dalam cerita ini mengalami nasib berbeda, yakni "dibunuh" oleh mereka yang patut diduga bagian dari sindikat mafia tanah.

     H dan D adalah gambaran perempuan yang teguh dan tangguh dalam memperjuangkan hak dan kepentingan atas tanah mereka di tengah gempuran sekelompok orang yang terindikasi bagian dari para mafia tanah. Sejak tahun 2010, kedua ibu bersahaja ini tidak lelah-lelahnya berjuang meluruskan informasi dan data dalam rangka perlindungan dan kepastian hukum serta mendapatkan keadilan atas tanah milik mereka mulai dari  BPN Bekasi, BPN Jakarta Timur, Lurah Kelurahan Medan Satria, Bekasi dan Ujung Menteng, Cakung, kementerian ATR/KA BPN dan "bertempur" di pengadilan.

    Awal mula kedua perempuan kuat ini masuk dalam pusaran sengketa tanah milik mereka yang telah dikuasai dan bersertifikat sejak tahun 1972 ketika gong Pelaksanaan Proyek Pembangunan Banjir Kanal Timur (BKT) ditabuh di tahun 2008. Proyek BKT yang seharusnya membawa berkat malah menjadi mimpi buruk bagi keduanya. Mereka tidak pernah membayangkan tanah hak milik mereka tiba-tiba diklaim banyak pihak dan ternyata ada tumpang tindih (overlapping) sertifikat. Keadaan ini menghambat mereka mendapatkan hak atas ganti rugi sebagian tanah untuk Pembangunan BKT dan pemanfaatan sisa tanahnya.

     Di masa awal rencana proyek BKT semuanya masih berjalan lancar. Panitia Pengadaan Tanah (P2T) Pemerintah Kota Madya Jakarta Timur mengeluarkan Surat Tugas tentang pengukuran ulang peta bidang 13 atas nama H. Mansur (alm ayah dari H dan D) tertanggal 6 November 2008. selanjutnya, pada tanggal 5 Februari 2009, Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Kota Madya Jakarta Timur mengeluarkan surat tugas kepada dua orang stafnya untuk melakukan inventarisasi/pengukuran ulang atas bidang tanah yang terkena proyek BKT atas nama H dan D. BPN Jakarta Timur pun pernah menerbitkan surat keterangan yang intinya menyatakan bahwa SHM atas nama H dan D belum pernah dibaliknama pihak manapun.

Nota Dinas BPN Jakarta Timur 

     Namun, kebingungan dan ketegangan muncul pada saat BPN mengeluarkan Nota Dinas yang ditujukan kepada Wali Kota Madya Panitia Pembebasan Tanah bahwa tanah kepunyaan H dan D sudah dihapus dan tidak berlaku lagi berdasarkan pengumuman Kepala BPN Jakarta Timur tahun 1997 dan SK Menteri Dalam Negeri No.228/HGB/DA/1974 telah menjadi HGB No.25/Medan Satria atas nama Pertamina.

     Sungguh aneh. Instansi yang sama pernah mengeluarkan surat ukur dan keterangan tidak pernah beralih kepada pihak manapun, kemudian menerbitkan keterangan yang berbeda dan selalu berubah-ubah. Sayangnya lagi, BPN Jakarta Timur tidak dapat menunjukkan bukti otentik dari pengumuman dimaksud termasuk SK Mendagri yang menjadi rujukkan.

     Namun demikian, H dan D terus bergerak meski Lelah mendera. Mereka mencoba melakukan investigasi untuk melacak kebenaran keterangan BPN tersebut. Hasil investigasi mereka menunjukkan bahwa nama mereka tidak termasuk dalam daftar nama yang ada dalam pengumuman BPN tahun 1997. Ketika hal ini disampaikan, BPN berdalih lain lagi. Tanah milik H dan D sudah beralih ke Pertamina berdasar keputusan Mendagri tapi nomor surat berbeda dan sekarang menjadi perumahan Modernland. Sementara itu, dalam kenyataan di lapangan lokasi tanah H dan D berada dikisaran 1,5 km dari perumahan modernland.

     Tapi, rupanya pengalaman serupa tidah hanya dialami oleh H dan D. banyak juga pemilik tanah lainnya terutama pemegang SHM yang tahun penerbitannya sama. Misalnya, SHM 197 dan 198 yang berbatasan dengan tanah H dan D. Ketika pemilik SHM 197 dan 198 mengurus balik nama ke BPN Jakarta Timur, pada sertifikat milik mereka terdapat stemple yang menyatakan sertifikat ini tidak diterbitkan oleh BPN Bekasi. Sementara itu, pemilik lain mendapati keterangan sertifikat ini berada dalam penguasaan Pertamina.

     Atas keterangan BPN Jakarta Timur yang berubah-ubah dan tidak didukung adanya bukti otentik sebetulnya patut dipertanyakan: bukankah pihak yang semestinya menyatakan keterangan demikian adalah BPN Kota Bekasi? Bukankah sertifikat atau dokumen-dokumen kepemilikan mereka yang sepakat melepaskan haknya harus menyerahkannya bukti kepemilikan kepada kantor pertanahan setempat? Bagaimana kalau faktanya SHM masih berada ditangan pemegang hak?.

     Dalam kasus H dan D, selain fakta bahwa SHM masih dikuasai dan tanahnya sampai saat ini dikuasai secara fisik, mereka masih merasa perlu menguatkan bukti dengan terus melakukan penelusuran informasi dan data kepada BPN Kota Bekasi sebagai instansi yang menerbitkan SHM H dan D pada saat lokasi tanah milik mereka masih menjadi bagian dari Kabupaten Bekasi sebelum beralih ke Cakung, Jakarta Timur, lalu mengajukan surat permohonan perihal penjelasan tanah H dan D ke Lurah Kelurahan Medan Satria, Bekasi maupun Lurah Kelurahan Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur. Hasilnya jelas-jelas menguatkan kepemilikan H dan D.

     Upaya lain adalah mengajukan perlindungan hukum kepada Menteri ATR/BPN. Berbekalkan SHM dan dokumen-dokumen lain yang dimiliki, H dan D memohon adanya remedy atau pembetulan administrasi tanah milik H dan D atau apabila dipandang perlu, H dan D juga mengajukkan permintaan Gelar Istimewa dengan mengundang pihak yang mengaku-ngaku memiliki hak dan BPN sendiri untuk beberkan sejarah kepemilikan tanah yang terkesan "sengaja" disengketakan. Namun, surat "tantangan" H dan D belum mendapatkan tanggapan dari BPN.

"Bertempur" di Pengadilan

     Tantangan yang dihadapi H dan D rupanya tidak hanya datang dari parahnya administrasi BPN Jakarta Timur. Tanpa sepengetahuan H dan D, rupanya sudah ada pihak lain yang sedang bersengketa di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. ES yang mengaku mempunyai hak atas tanah di kawasan Jalan Inspeksi BKT berdasarkan akta jual-beli dari H dan D mengajukkan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap RKS di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. RKS klaim pemilik tanah melalui pembelian lelang yang dilakukan di Kantor Lelang Jakarta, yaitu bidang tanah SHM 203, SHM 204, dan SHM 205. Ketiga bidang tanah tersebut dibalik nama menjadi SHM 50, SHM 51, dan SHM 52, yang kemudian digabungkan dalam satu SHM 53 Ujung Menteng.

     Atas aksi gugatan tersebut, H dan D mengajukkan gugatan intervensi. Tidak hanya mereka, ada juga penggugat intervensi lain berinisial S yang mengaku mempunyai hak atas tanah dimaksud berdasarkan jual-beli dari H dan D. Gugatan intervensi H dan D diterima sehingga mereka menjadi pihak dalam gugatan awal antara ES dan RKS. Perkara bergulir. Dalam prosesnya, ES sebagai penggugat awal dan S sebagai penggugat intervensi dua mengundurkan diri setelah menyadari kelemahan klaim mereka masing-masing. Sidang berjalan terus. Hakim PN Jakarta Timur akhirnya memutuskan gugatan tidak diterima. Atas putusan tersebut, RKS mengajukan banding. Hakim di tingkat banding pun memutuskan menguatkan putusan pengadilan negeri Jakarta Timur. RKS terus melanjutkan upaya hukum kasasi. Hasilnya, di tingkat kasasi, pengajuan RKS tidak diterima.

Penggugat Lain Muncul

     Klaim terhadap tanah milik H dan D rupanya tidak berhenti di ES, RKS dan S. Ada pihak lain yang juga menggugat RKS dengan dalil bahwa H dan D yang tinggal di Kebayoran, Jakarta adalah figuran, sedangkan H dan D yang asli adalah MBS yang tinggal di Bekasi. Pihak lain datang dengan klaim sebagai orangtua H dan D. Ada juga yang mengaku memiliki hak berdasar girik. Tiga gugatan terakhir ditolak karena tidak dapat membuktikan klaim mereka. Total sudah ada 7 orang lain lagi yang mengaku mempunyai hak atas tanah H dan D; tapi seluruh gugatan mereka ditolak dari pengadilan tingkat pertama sampai kasasi karena mereka tidak dapat membuktikan klaim mereka.

     Sembari menghadapi gugatan-gugatan itu, Halifah dan Dalilah terus memperkuat bukti-bukti kepemilikan mereka dan melakukan pengamanan fisik atas tanah. Plang dipasang. Lokasi dipagari. Penjaga ditempati. Penguatan secara yuridis pun terus dilakukan.

     Gangguan terhadap kepemilikan tanah Halifah dan Dalilah masih terus berdatangan. Saat tanah sudah dikuasai dan penghuni liar sudah diminta pergi dengan memberi uang kerohiman, ada lagi yang mengaku mendapatkan kuasa jual tanah itu. Dan, terbaru, RKS mengajukan gugatan baru ke PN Jakarta Timur. Padahal, kalau dicermati terdapat banyak kejanggalan klaim RKS baik alas hak pihak yang menjual, peralihan/perubahan sertifikat yang tidak mencantumkan asal persil dan proses penerbitan SHMnya yang tergolong super singkat, dan hal yang sangat mendasar yang perlu dibuktikan RKS dalam kaitannya dengan sertipikat objek sengketa adalah dimana letak objek tanahnya, dengan batas-batas yang disebutkan dalam sertipikat. Soalnya adalah dalam kenyataanya, letak lokasi yang tertera dalam SHMnya tidak sama dengan lokasi yang diklaim miliknya juga. Dalam kaitan dengan hal ini, BPN memang pihak yang harus ditarik sebagai tergugat. BPN harus bisa menjelaskan bagaimana bisa menerbitkan SHM baru di lokasi tanah yang jelas-jelas sudah ada SHMnya dan yang dinyatakan sudah dihapus dan beralih ke Pertamina? Bagaimana membuktikan klaim BPN bahwa tanah H dan D sudah beralih ke Pertamina sedangkan SHMnya masih dikuasai H dan D, dan masih banyak pertanyaan lainnya.

Asa Terus Membumbung

     Kisah ini memberikan gambaran bahwa mafia tanah benar adanya. Mafia tanah kerap menggunakan modus-modus kejahatan yang terorganisir, dimana yang paling umum digunakan adalah modus pemalsuan dokumen pertanahan, melakukan gugatan rekayasa di pengadilan untuk mendapatkan hak atas tanah, mengadakan pemufakatan jahat yang dilakukan dalam akta autentik atau surat keterangan dengan melibatkan pejabat umum. Selain itu membuat data baru dengan cara mencari data yang berhubungan dengan data korban atau data ditempat lain dan melakukan transaksi dengan data baru tersebut, jual-beli fiktif, penipuan atau penggelapan, melakukan rekayasa perkara, melibatkan broker dan oknum Notaris, bekerja sama dengan aparat penegak hukum dan oknum BPN.

     Para mafia tanah pada umumnya memiliki kekuatan finansial dan jaringan yang kuat dan mampu menghadirkan bukti-bukti otentik didepan persidangan, yang secara formil nampak benar, tetapi sebenarnya prosedur perolehannya secara materiil merupakan tindakan-tindakan yang melawan hukum.

     Siapapun yang menjadi korban mafia tanah tidak boleh mundur walaupun menguras emosi, tenaga, pikiran, dan segenap sumberdaya mengurusnya. H dan D adalah contoh nyata perlawanan itu. Dalam proses perjuangan mempertahankan hak atas tanah mereka, Halifah sudah meninggal dunia pada 2018. Halifah belum sempat menikmati dana pembebasan sebagian tanahnya yang terkena proyek BKT. Perjuangan Halifah kini dilanjutkan oleh anak-anaknya. Sedangkan, Dalilah yang sudah berusia lanjut berharap dia mendapatkan kepastian hukum dan keadilan atas tanah miliknya, sehingga masih bisa menikmati dana pembebasan tanahnya sebelum ajal menjemput.

     Saat ini, ahliwaris Halifah dan Dalilah berjuang menghadapi gugatan baru RKS. Mereka berharap bahwa hakim PN Jakarta Timur yang memeriksa perkara ini bisa menggunakan pembuktian materil, selain pembuktian secara formil di persidangan yang selama ini memang masih menekankan pembuktian secara Formil.

     Di ujung perjuangan ini, mereka menggantang asa bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Timur dapat mengakhiri sengkarut tanah mereka dan memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada Halifah atau ahliwarisnya dan Dalilah.

Elias Sumardi Dabur, Advokat    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun