Kesalahpahaman paling umum terkait keberadaan Interpol adalah memandang interpol seolah-olah lembaga buru sergap dan mudah menerbitkan red notice. Hal ini setidaknya terbaca dari reaksi netizen yang menyambut gembira disertai umpatan ketika Polda Jawa Timur melalui Divisi Hubungan Internasional Mabes Polri berencana mengajukan red notice ke Interpol untuk mencari dan menahan sementara aktivis dan pengacara Hak Asasi Manusia (HAM) Veronica Koman. Â Â Â
Padahal, kalau dirunut kembali, permohonan red notice bukan hal baru. Sebelum Veronica, ada beberapa nama yang juga pernah dimintakan red notice ke Interpol, di antaranya: Rizieg Sihab, aktivis pro-kemerdekaan Papua, Benny Wenda, dan mantan Anggota DPR, Nazarudin Samsudin. Hasilnya, ada permohonan yang diterima, seperti Nazarudin dan ada yang ditolak dan dicabut kembali, seperti dalam kasus Riziek Sihab dan Benny Wenda.
Sehingga, menarik untuk dibahas mengapa ada permintaan red notice yang disetujui dan ditolak. Kalau pun diterima atau ditolak belum tentu tersangka bisa diekstradisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Di sinilah, pemahaman tentang tujuan Interpol, mekanisme dan pedoman kerja Interpol perlu diluruskan. Â
 Keberadaan Interpol
The International Criminal Police Organization atau Interpol adalah sebuah organisasi kepolisian internasional yang terdiri dari 194 negara (termasuk Indonesia), yang dibentuk untuk memastikan dan mempromosikan adanya kerjasama seluas mungkin di antara kepolisian di seluruh dunia. Kerjasama itu tetap dalam prinsip menghormati hukum nasional masing-masing negara dan spirit deklarasi universal HAM. Â
Instrumen pokok kerjasama kepolisian internasional itu adalah notice internasional. Interpol menyelenggarakan sistem notice internasional yang terdiri dari tujuh jenis: red notice, green notice, yellow notice, blue notice, black notice, orange notice, purple notice, dan warna biru PBB (UN special notice) yang memungkinkan kepolisian di negara-negara anggota membagi informasi genting sesuai dengan tujuan masing-masing notice.
Red notice merupakan bagian dari sistem tersebut. Red notice pada dasarnya diajukkan oleh negara anggota kepada Interpol. Apabila, permohonan itu memenuhi persyaratan, prinsip dan konstitusi Interpol, maka sekretariat Interpol yang berpusat di Lyon-Perancis mengeluarkan red notice dan disebarkan ke seluruh negara anggota dalam rangka mencari lokasi dan menahan sementara seseorang yang dicari dalam kasus kriminal, sehingga orang tersebut bisa diekstradisi ke negara peminta.
Pada saat Interpol menyebarkan red notice tetap saja negara pemohon yang sebetulnya mempunyai kewajiban untuk menemukan orang yang dicari. Jadi, penting untuk diketahui bahwa sistem ini sifatnya sukarela. Artinya, negara-negara anggota Interpol tidak memiliki kewajiban yang diikat secara hukum untuk menangkap seseorang berdasar pada red notice.
Pedoman Kerja Interpol  Â
Hal ini berhubungan dengan sistem nilai hukum yang berkembang di setiap negara. Interpol menegaskan bahwa "setiap negara anggota memutuskan bagi dirinya sendiri nilai hukum yang dipakai untuk memberikan red notice di dalam lingkup negaranya. Ini merupakan salah satu prinsip Interpol.
Selain nilai hukum, Interpol juga menetapkan kriteria tertentu sebagai panduan dalam menentukan apakah red notice disetujui atau ditolak. Pembatasan itu tertuang secara jelas di dalam artikel 3 Konstitusi Interpol yang menentukan bahwa "Melarang untuk melakukan intervensi apapun dan kegiatan yang bersifat politik, militer, agama dan rasial."
Kriteria ini merupakan turunan dari prinsip-prinsip dasar Interpol yang berupaya menjaga posisi netralitas lembaga dan fokus pada pencegahan kejahatan dan penegakan hukum sesuai tujuan Interpol, dan bertindak dalam kerangka semangat deklarasi universal HAM.
Dengan demikian, kalau merujuk pada ketentuan tersebut, Interpol tidak harus menerbitkan red notice kalau sebuah kasus diklasifikasi sebagai kegiatan yang bermotif politik atau melangggar kewajiban yang dikenakan di bawah hukum HAM internasional. Sebagai contoh dapat diangkat penolakan red notice terhadap Riziek Sihab dan pencabutan kembali status red notice  aktivis pro kemerdekaan Papua Benny Wenda.
Apalagi, sejak reformasi lembaga itu pada 2015, Interpol sangat ketat dalam mengeluarkan red notice karena tidak ingin lembaganya disalahgunakan oleh negara-negara anggotanya untuk menangkap, membungkam oponen ekonomi-politik dalam negeri, jurnalis kritis dan pengacara HAM.
Parlemen Eropa pada Februari 2019 mempublikasikan hasil riset," Misuse of Interpol's Red Notice and Impact on Human Rights---Recent Development",  yang mana hasilnya menunjukkan adanya penyalahgunaan red notice oleh negara-negara tertentu untuk memperkusi pengacara-pengacara HAM, aktivis masyarakat sipil  dan jurnalis-jurnalis kritis yang tentunya melanggar standar-standar internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Pemahaman yang utuh terkait keberadaan Interpol red notice mudah-mudahan membantu kita untuk tidak berekspektasi berlebihan bisa membawa tersangka yang melarikan diri ke luar negeri ke hadapan penyidik, jaksa dan pada sidang pengadilan karena memang ada pembatasan-pembatasan dalam lembaga itu terkait nilai hukum yang berbeda di masing-masing negara, prinsip-prinsip dasar, konstitusi Interpol, semangat Deklarasi HAM Universal dan hukum HAM internasional.]]
Catatan: Tulisan ini sudah pernah dimuat di Detik.com (7/11/2019).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H