Bagaikan kain yang akrab dengan noda, aku tergores oleh tinta yang tersusun dengan rapi Â
Kali itu, aku dibiarkan hanyut dalam pikirannya yang tak menentu
Hilang arah, meski sudah terlatih  Â
Iya, hanya menemani. Aku tidak tahu cara mengendalikan tuanku
Aku hanya mampu menemaninya ketika ia terluka
Saat mentari berusaha menampakkan diri dalam persembunyian
Terdengar sang tuan bersuara riuh memanggil deretan nama
Namun, tidak ada jawaban. Sungguh hening dan mencekam Â
Hanya kicauan dan kokokan yang saling bersahutan merebut posisi pendengaranku
Mentari mengeluarkan orange yang berkilauan dan berlalu
Saat ini, langit berubah kelabu nan sunyi  Â
Jam dinding mengarah pada sebuah angkaÂ
Angka yang sangat krusial dalam hidupnya
Ia menangis. Tersedu-sedu. Namun, tetap menggerakan penanya diatasku
Aku tertarik dan mengintip di sela-sela helaan napasnyaÂ
Seperti ini beberapa kalimat yang ku cerna
"Kehilangan seseorang yang selalu membersamai di setiap langkah kehidupan sungguh sulit. Aku hilang arah, hanya sepi yang menemani hariku..."
Tak terasa, deraian air membasahi lembaran yang dipenuhi tinta
Sungguh, aku ingin memeluknya
Memeluk tuanku yang malang
Dimensi ku sangat berbeda dengan nya
Aku tidak mampu melakukan apapun untuk tuanku
Namun, memahami tiap untaian kata yang dituliskannya adalah keahlianku
Silahkan saja, keluarga seluruh keluh kesah yang tuan rasakan
Hari ini, esok, esok lusa ataupun kapanpun yang diinginkan
Aku bersedia dan siap menjadi seorang pendengar yang baik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H