Beberapa hari belakangan ini, setelah berita media masa dipenuhi dengan berita kecelakaan pesawat Air Asia, media masa tanah air sibuk meliput eksekusi 6 orang terpidana mati untuk kasus narkoba. Marco Archer Cardoso Moreira (WN Brazil), Namaona Denis (WN Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (WN Nigeria), Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (WN Belanda) dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI), kelimanya dieksekusi di Pulau Nusakambangan. Sedangkan 1 terpidana yang dieksekusi di Boyolali yaitu Tran Thi Bich Hanh (WN Vietnam).
Pro dan kontra bermunculan. Ada yang berpendapat bahwa hukuman mati untuk kurir, gembong dan mafia narkoba sudah benar, karena dampak yang ditimbulkan untuk sebuah generasi. Akan tetapi tidak sedikit juga suara-suara yang meneriakan ketidaksetujuan untuk hukuman mati tersebut, dengan berbagai macam alasad, mulai dari alasan regliji, HAM dan lain-lain.
2 negara, yaitu Brazil dan Belanda, sangat keras menentang warga negara mereka di eksekusi mati oleh pemerinta Indonesia. Hal ini sangat wajar. Pemerintah Indonesia pun akan melakukan hal yang sama untuk warga negaranya. Kita sudah tau beberapa waktu yang lalu pemberitaan oleh media masa tanah air, tentang nasib seorang TKW dari Indonesia yang terancam hukuman mati di salah satu negara Timur Tengah. Pemerintah Indonesia dan juga masyarakat Indonesia berusaha untuk melakukan lobi-lobi, supaya warga negara Indonesia tersebut dapat terbebas dari hukuman mati. Berbagai macam cara dilakukan, mulai dari lobi antar kepala negara, tokoh agama sampai penggalangan dana oleh masyarakat untuk menebus warga negara Indonesia tersebut.
Kembali ke eksekusi 6 terpidana mati kasus narkoba. Presiden Brasil Dilma Rousseff mengecam keras eksekusi mati terhadap warganya Marco Archer Cardoso Moreira terkait narkoba. Dia bahkan menarik dubesnya di Jakarta, Paulo Alberto da Siveira Soares, pulang. Demikian juga dengan pemerintah Kerajaan Belanda. Mereka menarik pulang duta besarnya untuk melakukan koordinasi dan juga sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Indonesia.
Di Indonesia sendiri, hukuman mati masih sering menjadi perdebatan. Padahal berdasarkan UU yang berlaku, hukuman mati boleh dilakukan. Bahkan MK, lembaga yang berwenang menilai apakah suatu UU dianggap boleh berlaku di Indonesia dan tidak melanggar UUD, telah menegaskan bahwa hukuman mati, bisa diberlakukan di Indonesia dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan MK ini dapat di baca pada utusan MK Nomor 2-3/PUU-V/2007.
Dalam putusan tersebut, MK, yang saat itu diketuai Jimly Ashidiqie, berpendapat hukuman mati tetap diperlukan sebagai bentuk kekuatan terhadap hukuman. Bila itu dikabulkan, maka MK menganggap di UU lain tidak boleh ada juga pasal yang mengancam dengan hukuman mati. Dengan demikian ancaman pidana mati dalam UU Narkotika tidak mempunyai kekuatan hukum berlaku, hal ini membawa konsekuensi bahwa seluruh ketentuan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur pidana mati, harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum berlaku. Dengan demikian, termasuk ancaman pidana mati dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, UU Tindak Pidana Korupsi, UU Pengadilan HAM.
MK juga menanggap, jika permohonan para terpidana narkoba itu dikabulkan, maka kejahatan narkoba dan lainnya akan semakin marak di Indonesia. Implikasi penolakan hukuman mati juga akan berpengaruh ke jenis kejahatan lain seperti terorisme dan korupsi.
"Bagaimana tanggung jawab, seluruh komponen bangsa dan negara, serta rakyat Indonesia dalam rangka menjaga kedaulatan, tumpah darah, generasi penerus bangsa, kelangsungan hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, manakala masalah narkotika semakin semarak di Indonesia. Juga jika terorisme menyebar kemana-mana, dengan ancaman pidana penjara yang tidak berat," tulis putusan tersebut.
Akan tetapi, tidak sedikit juga yang menyuarakan untuk menghentikan hukuman mati di Indonesia. Salah satunya adalah mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana. Beliau berpendapat bahwa hukuman mati adalah hukuman konstitusional, namun dia berharap pelaksanaannya jadi alternatif.
"MK mengatakan hukuman mati konstitusional. Itu tidak bisa kita nafikan. Kalau terkait HAM, sebaiknya sangat hati-hati, sangat selektif. Sebaiknya hukuman mati itu diatur sebagai hukuman alternatif yang khusus kalau bisa bersyarat," kata Denny Indrayana di Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu (18/1/2015). (Sumber : Detik.com).
Ia mewacanakan hukuman mati ini menjadi sebuah alternatif hukuman untuk para terpidana. Jika terpidana itu berkelakuan baik selama 10 tahun, maka hukumannya menjadi seumur hidup saja, bukan hukuman mati seperti sekarang. "Artinya hukum mati bersyarat kalau 10 tahun dia kemudian ada perubahan sikap, bertobat diubah menjadi seumur hidup atau 20 tahun. Tidak boleh pada anak-anak yang belum dewasa tidak boleh kepada wanita hamil," sambung Guru besar hukum tata negara UGM ini.