Beberapa bulan terakhir, berita gagal bayar Asuransi Jiwa Jiwasraya sudah menjadi sorotan banyak pihak. Mulai dari pengamat BUMN, Komisi VI DPR, Menteri BUMN, Menteri Keuangan dan terakhir Presiden Jokowi juga memberikan komentar mengenai kisruh yang terjadi di asuransi jiwa berstatus BUMN tersebut.
Bak bola salju yang menggelinding, semakin ditelisik, semakin terungkap temuan baru yang makin mengejutkan. Kabar terakhir, besaran jumlah gagal bayar produk JS Save Plan sejumlah RP. 17 triliun patut mendapatkan perhatian lebih dari skandal keuangan BUMN ini. Belasan ribu nasabah yang menjadi korban, tidak bisa dinafikan akan mengubah pandangan masyarakat Indonesia terhadap dunia perasuransian indonesia. Dapat dibayangkan, asuransi jiwa BUMN milik negara saja dapat terancam merugikan ribuan nasabah yang mempercayakan pengelolaan dana di produk asuransi jiwa ini. Bagaimana dengan asuransi jiwa lokal swasta lainnya ?
Masyarakat Indonesia belum seperti masyarakat di negara-negara maju yang sudah melek asuransi jiwa. Di Indonesia, asuransi jiwa belum menjadi kebutuhan keuangan yang penting. Sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap membeli rokok dan pulsa paket data lebih penting daripada asuransi jiwa. Penetrasi asuransi jiwa di Indonesia belum pernah menembus 5% dari jumlah penduduk Indonesia. Artinya produk asuransi jiwa murni atau tradisional, menjadi salah satu produk yang sulit dijual di Indonesia. Dibutuhkan strategi dan usaha keras serta tenaga penjual yang benar-benar mengerti produk asuransi jiwa dan kebutuhan asuransi nasabah serta teknik menjual yang tepat.
Ditambah lagi, ada pemahaman masyarakat akan susahnya prosedur pengajuan asuransi jiwa tradisional yang harus dipenuhi nasabah. Mulai dari pengisian formulir, pertanyaan yang banyak dan kewajiban pemeriksaan kesehatan yang terkadang menghabiskan waktu nasabah. Selain itu sebagian besar orang Indonesia beranggapan, membeli asuransi jiwa tradisional sama saja uang premi yang kita bayarkan harus rela untuk tidak kembali. Bahkan akan menghadapi kesulitan pada saat pengajuan klaim meninggal.
Pemahaman sulitnya pengajuan produk asuransi tradisional memunculkan produk asuransi jiwa yang prosedurnya tidak rumit, tanpa pemeriksaan kesehatan dengan jaminan uang premi akan kembali, pengembalian klaim / premi jatuh tempo yang mudah, plus ada "bunga / hasil investasi" yang akan nasabah terima pada saat akhir periode penempatan premi / dana. Menarik bukan ?
Hal inilah yang memunculkan produk asuransi dwiguna / endowment yang tetap memberikan asuransi jiwa dengan embel-embel hasil investasi yang dijamin oleh perusahaan asuransi jiwa. Salah satu contoh produk asuransi dwiguna ini adalah JS Plan dari Asuransi Jiwa Jiwasraya.
Produk ini, sebenarnya ditujukan untuk nasabah yang belum melek asuransi jiwa dan tidak mau dirumitkan dengan prosedur pengajuan asuransi jiwa, tapi memberikan tambahan bunga atas premi yang diberikan. Itulah mengapa produk JS Plan ini lebih banyak dijual melalui bank yang bekerjasama dengan asuransi jiwa. Target pasar produk ini adalah nasabah deposito di bank, yang biasanya ditawari bunga / hasil investasi lebih besar dari yang ditawarkan oleh bank. Jaminan asuransi jiwa dengan "bunga / hasil investasi" yang lebih besar, disertai dengan mudahnya pengajuan pembelian produk yang mirip deposito ini, membuat banyak nasabah "tradisional" bank yang tertarik untuk membeli produk ini.
Seperti dua sisi mata pisau, berlaku juga dengan produk "deposito asuransi" ini. Selama produk ini dikelola dengan baik, produk ini dapat membantu asuransi jiwa lokal memupuk dana nasabah dan digunakan untuk operasional perusahaan. Melalui produk sejenis inilah, asuransi jiwa lokal seperti Jiwasraya, WanaArtha Life, Kresna Life dan asuransi kecil lainnya, mampu menghadapi asuransi jiwa asing / joint venture (JV) dalam mengumpulkan premi nasabah asuransi dengan jumlah yang besar. Â Â
Di sisi lainnya, produk seperti ini jika tidak dikelola dengan baik, justru bisa menjadi bumerang berbahaya bagi asuransi lokal itu sendiri. Mengingat produk ini sebenarnya berisiko tinggi untuk perusahaan dalam jangka menengah dan panjang. Seperti kita ketahui, dengan jaminan "bunga / investasi" yang tinggi, ditambah dengan komisi yang harus dibayarkan ke agen asuransi atau team sales, maka beban biaya yang harus ditanggung perusahaan sangatlah besar.
Artinya butuh team investasi yang sangat mumpuni (dengan skema kerjasama dengan bandar saham) untuk memberikan imbal hasil yang melebihi beban biaya tersebut. Saham gorengan atau saham "receh" menjadi salah satu instrumen investasi yang memberikan keuntungan yang sangat besar untuk menutupi beban biaya. Tentu saja dengan risiko rugi yang juga sama besar. Risiko itu tetap diambil untuk memenuhi kewajiban kepada ribuan nasabah yang menggantungkan harapannya agar produk "deposito asuransi" yang mereka beli, dapat memberikan keuntungan seperti yang dijanjikan.
Menyangkut perlindungan dana ribuan nasabah tersebut pertanyaan besarnya adalah, apakah fungsi pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah berjalan baik terhadap asuransi lokal seperti ini ? Kesalahan terbesar OJK adalah kurangnya pengawasan kepada asuransi lokal yang menjual produk "deposito asuransi" ini. Ditambah lagi tidak adanya aturan tegas dari OJK mengenai jangka waktu ijin penjualan produk berisiko tinggi ini.
Tanpa adanya jangka waktu ijin menjual produk berisiko ini, tujuan awal membantu asuransi jiwa lokal menghadapi asuransi jiwa asing, tidak tercapai. Asuransi lokal menjadi terlena dengan mudah dan besarnya pengumpulan premi produk "deposito asuransi" ini. Tanpa adanya jangka waktu, keterlenaan asuransi lokal justru akan melemahkan. Inovasi dan strategi perusahaan untuk mengembangkan dan menjual produk asuransi jiwa tradisional tidak berjalan dengan baik. Yang terjadi pada agen dan team sales asuransi lokal tersebut berlaku istilah "kalau ada produk yang lebih mudah kumpulkan premi besar dengan komisi yang besar juga, kenapa harus jual asuransi tradisional yang susah  dan preminya kecil ?". Kenyataan yang terjadi, asuransi lokal justru tidak berkembang menjadi besar dan malah tidak bisa bersaing dengan asuransi asing.
OJK bisa mengambil pelajaran dari krisis perbankan tahun 1997-1998. Sama halnya dengan Jiwasraya, dengan kewajiban dan beban biaya yang sangat besar, kesehatan keuangan menjadi cenderung rapuh. Apalagi penempatan investasi sebagian besar di saham "gorengan" yang berisiko tinggi. Kabar terakhir saat artikel ini ditulis, sudah ada efek domino dari kasus ini. Asuransi jiwa lokal lainnya yaitu WanaArtha Life dan Kresna Life juga memasuki fase "gagal bayar" seperti Jiwasraya. Akibat dari Kejaksaaan Agung memblokir semua rekening saham perusahaan asuransi jiwa yang dicurigai terlibat dengan kasus Jiwasraya dan kebetulan juga menjual produk "deposito asuransi" yang sama dengan Jiwasraya.Â
Sedikit saran untuk Kejaksaan Agung, tiga perusahaan ini memiliki kesamaan produk, kepentingan dan beban biaya yang sama besar untuk mendapatkan hasil investasi melebihi bunga yang dijanjikan ke nasabah. Perlu diselidiki, apakah dimungkinkan ketiga perusahaan ini dan perusahaan asuransi lokal lainnya (jika ada), membentuk mafia bandar saham dengan jual beli saham gorengan (cornering) diantara mereka, supaya nasabah saham kecil lainnya "terjebak" untuk membeli di harga tinggi, sementara mafia bandar saham mendapat untung besar. Kongkalikong ini tentu saja bekerjasama dengan broker saham maupun Manajemen Investasi, seperti yang sedang diselidiki oleh Kejaksaan Agung saat ini.Â
Kembali ke masalah awal, dengan kondisi keuangan yang cenderung rapuh tersebut, pelajaran yang harus diambil oleh OJK ke depannya adalah membuat badan atau divisi khusus yang mengawasi asuransi lokal yang menjual produk "deposito asuransi". Bentuknya sama seperti "almarhum" Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dulu.
Asuransi lokal tersebut dimasukkan dalam kategori "pengawasan khusus" dan diumumkan oleh OJK kepada publik. Hal ini berlaku juga untuk asuransi lokal lainnya diluar Jiwasraya, seperti WanaArtha Life, Kresna Life dan asuransi lokal sejenis lainnya. Asuransi dalam pengawasan khusus (ADPK) yang menjual produk "deposito asuransi" diberikan ijin penjualan dalam jangka waktu tertentu. Katakanlah dibatasi 5 (lima) tahun saja untuk menjual produk tersebut.
Dalam lima tahun, perusahaan ADPK diwajibkan mengembangkan inovasi produk tradisional dan strategi penjualannya. Selama lima tahun, OJK terlibat langsung dalam semua pengambilan keputusan yang terkait dengan rencana inovasi produk dan strategi penjualan dalam perusahaan ADPK tersebut. Lima tahun waktu yang cukup untuk membuat ADPK yang masih tahap "bayi" untuk belajar merangkak, berdiri dan pada akhirnya bisa berlari untuk bersaing dengan asuransi jiwa asing / JV.Â
Bagaimana dengan asuransi yang sudah  dan sedang berjualan produk "deposito asuransi" lebih dari lima tahun ? OJK harus mengambil tindakan tegas dengan memberikan waktu tambahan 2 (dua) tahun lagi untuk menyelesaikan kewajiban klaim asuransi kepada nasabah produk "deposito asuransi" tersebut. ADPK tidak diperkenankan untuk menjual lagi produk yang sama. Sampai akhirnya, ADPK tersebut tidak ada kewajiban klaim lagi atas produk tersebut dan hanya menjual produk asuransi tradisional saja.
Cara tersebut dapat membuat asuransi lokal untuk kembali ke "khitah" nya sebagai perusahaan yang menjual produk asuransi jiwa yang sebenarnya. Diharapkan kepercayaan masyarakat kepada perusahaan asuransi jiwa lokal juga semakin meningkat. Sehingga tidak ada lagi nasabah yang menjadi korban gagal bayar seperti Jiwasraya.
Selain itu, nasabah juga mendapatkan literasi pesan yang bagus, Â bahwa penempatan dana dalam produk sejenis deposito hanya ke perbankan, bukan ke asuransi jiwa. Kembalikan perusahan asuransi jiwa kepada "khitah" nya dengan memberikan perlindungan jiwa, bukan menjual deposito.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI