Mohon tunggu...
Elia Djari
Elia Djari Mohon Tunggu... Konsultan - Pemerhati masalah sosial

Pemerhati masalah asuransi jiwa dan perbankan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Kisruh Jiwasraya dan Efek Dominonya

19 Februari 2020   19:00 Diperbarui: 19 Februari 2020   19:07 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Tanpa adanya jangka waktu ijin menjual produk berisiko ini, tujuan awal membantu asuransi jiwa lokal menghadapi asuransi jiwa asing, tidak tercapai. Asuransi lokal menjadi terlena dengan mudah dan besarnya pengumpulan premi produk "deposito asuransi" ini. Tanpa adanya jangka waktu, keterlenaan asuransi lokal justru akan melemahkan. Inovasi dan strategi perusahaan untuk mengembangkan dan menjual produk asuransi jiwa tradisional tidak berjalan dengan baik. Yang terjadi pada agen dan team sales asuransi lokal tersebut berlaku istilah "kalau ada produk yang lebih mudah kumpulkan premi besar dengan komisi yang besar juga, kenapa harus jual asuransi tradisional yang susah  dan preminya kecil ?". Kenyataan yang terjadi, asuransi lokal justru tidak berkembang menjadi besar dan malah tidak bisa bersaing dengan asuransi asing.

OJK bisa mengambil pelajaran dari krisis perbankan tahun 1997-1998. Sama halnya dengan Jiwasraya, dengan kewajiban dan beban biaya yang sangat besar, kesehatan keuangan menjadi cenderung rapuh. Apalagi penempatan investasi sebagian besar di saham "gorengan" yang berisiko tinggi. Kabar terakhir saat artikel ini ditulis, sudah ada efek domino dari kasus ini. Asuransi jiwa lokal lainnya yaitu WanaArtha Life dan Kresna Life juga memasuki fase "gagal bayar" seperti Jiwasraya. Akibat dari Kejaksaaan Agung memblokir semua rekening saham perusahaan asuransi jiwa yang dicurigai terlibat dengan kasus Jiwasraya dan kebetulan juga menjual produk "deposito asuransi" yang sama dengan Jiwasraya. 

Sedikit saran untuk Kejaksaan Agung, tiga perusahaan ini memiliki kesamaan produk, kepentingan dan beban biaya yang sama besar untuk mendapatkan hasil investasi melebihi bunga yang dijanjikan ke nasabah. Perlu diselidiki, apakah dimungkinkan ketiga perusahaan ini dan perusahaan asuransi lokal lainnya (jika ada), membentuk mafia bandar saham dengan jual beli saham gorengan (cornering) diantara mereka, supaya nasabah saham kecil lainnya "terjebak" untuk membeli di harga tinggi, sementara mafia bandar saham mendapat untung besar. Kongkalikong ini tentu saja bekerjasama dengan broker saham maupun Manajemen Investasi, seperti yang sedang diselidiki oleh Kejaksaan Agung saat ini. 

Kembali ke masalah awal, dengan kondisi keuangan yang cenderung rapuh tersebut, pelajaran yang harus diambil oleh OJK ke depannya adalah membuat badan atau divisi khusus yang mengawasi asuransi lokal yang menjual produk "deposito asuransi". Bentuknya sama seperti "almarhum" Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dulu.

Asuransi lokal tersebut dimasukkan dalam kategori "pengawasan khusus" dan diumumkan oleh OJK kepada publik. Hal ini berlaku juga untuk asuransi lokal lainnya diluar Jiwasraya, seperti WanaArtha Life, Kresna Life dan asuransi lokal sejenis lainnya. Asuransi dalam pengawasan khusus (ADPK) yang menjual produk "deposito asuransi" diberikan ijin penjualan dalam jangka waktu tertentu. Katakanlah dibatasi 5 (lima) tahun saja untuk menjual produk tersebut.

Dalam lima tahun, perusahaan ADPK diwajibkan mengembangkan inovasi produk tradisional dan strategi penjualannya. Selama lima tahun, OJK terlibat langsung dalam semua pengambilan keputusan yang terkait dengan rencana inovasi produk dan strategi penjualan dalam perusahaan ADPK tersebut. Lima tahun waktu yang cukup untuk membuat ADPK yang masih tahap "bayi" untuk belajar merangkak, berdiri dan pada akhirnya bisa berlari untuk bersaing dengan asuransi jiwa asing / JV. 

Bagaimana dengan asuransi yang sudah  dan sedang berjualan produk "deposito asuransi" lebih dari lima tahun ? OJK harus mengambil tindakan tegas dengan memberikan waktu tambahan 2 (dua) tahun lagi untuk menyelesaikan kewajiban klaim asuransi kepada nasabah produk "deposito asuransi" tersebut. ADPK tidak diperkenankan untuk menjual lagi produk yang sama. Sampai akhirnya, ADPK tersebut tidak ada kewajiban klaim lagi atas produk tersebut dan hanya menjual produk asuransi tradisional saja.

Cara tersebut dapat membuat asuransi lokal untuk kembali ke "khitah" nya sebagai perusahaan yang menjual produk asuransi jiwa yang sebenarnya. Diharapkan kepercayaan masyarakat kepada perusahaan asuransi jiwa lokal juga semakin meningkat. Sehingga tidak ada lagi nasabah yang menjadi korban gagal bayar seperti Jiwasraya.

Selain itu, nasabah juga mendapatkan literasi pesan yang bagus,  bahwa penempatan dana dalam produk sejenis deposito hanya ke perbankan, bukan ke asuransi jiwa. Kembalikan perusahan asuransi jiwa kepada "khitah" nya dengan memberikan perlindungan jiwa, bukan menjual deposito.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun