Dalam surat tersebut, dinyatakan bahwa pembebasan denda akan dilakukan namun diperlukan suatu surat permohonan dengan menyertakan bukti bahwa pendapatan telah berkurang akibat kondisi pandemi dan penghapusan denda dibutuhkan. Surat permohonan yang dimaksud harus diberikan pada pihak universitas maksimal 7 hari setelah surat pengumuman tersebut diedarkan. Jika tidak, maka pengurangan denda dapat dimohonkan pada periode permohonan berikutnya.Â
Hal ini dapat dipahami sebagai prosedur untuk memastikan bahwa mereka yang memohon adalah mereka yang benar-benar membutuhkan. Walaupun demikian, prosedur tersebut menunjukan kesan yang berbeda dari apa yang telah dinyatakan dalam surat kabar dimana dinyatakan bahwa ‘seakan’ pengurangan denda diberlakukan untuk semua mahasiswa; ‘seakan’ telah dilakukan sebagai suatu kebijakan umum.
Mengenai kebijakan nomor dua, pengalihan pengurangan biaya operasional – akibat tidak digunakannya fasilitas kampus – untuk menyubsidi SPP mahasiswa, hingga tulisan ini dibuat (6 Mei 2020), belum ada kebijakan apapun yang diumumkan. Para mahasiswa terus menanti janji yang telah dinyatakan dalam media cetak tersebut. Ini menunjukan bahwa ada pernyataan yang telah terlebih dahulu dipublikasikan sebelum adanya kebijakan yang diterapkan.Â
Menjadi masuk akal jika penjelasan universitas atas hal tersebut adalah karena biaya untuk mengupah staff universitas tetap harus dikeluarkan. Namun, yang sangat disayangkan adalah adanya pernyataan public yang tidak sesuai dengan sebagaimana adanya.
Pada akhirnya, semua pihak harus dapat memahami kondisi yang memang sulit. Mahasiswa di satu sisi juga perlu memahami bahwa pihak universitas memiliki berbagai permasalahannya sendiri. Namun disisi lain, pihak universitas juga perlu memahami bahwa client mereka, yaitu mahasiswa, juga menuntut pertanggungjawaban atas pernyataan dalam media cetak serta memohon keadilan secara finansial.
Satu hal yang bisa diperdebatkan mengenai kasus ini adalah soal pernyataan publik dan korespondensinya dengan keadaan nyatanya. Dalam bisnis apapun, termasuk pendidikan, kepercayaan antara produsen dan konsumen merupakan suatu hal yang layaknya dihargai. Suatu perusahaan atau institusi seharusnya paham bahwa ‘distrust’ yang timbul dapat mencederai hubungan antara mereka dan client atau customer. Image memang merupakan suatu hal yang dikejar oleh usaha manapun.Â
Suatu perusahaan yang menjual produknya pasti ingin memiliki image yang baik dari pelanggannya. Image penting, namun hal tersebut tidak boleh mengalahkan apa yang sebenarnya. Dari sudut pandang etika, kebohongnan publik oleh suatu usaha atau institusi dapat mencederai usaha atau institusi tersebut. Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa lembaga universitas yang memberi pernyataan public diatas telah melakukan kebohongan publik.Â
Namun, tulisan ini ingin menggunakan contoh pernyataan tersebut, untuk melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi jika pada akhirnya hal tersebut tidak terpenuhi. Melalui suatu penilaian etis, tulisan ini juga bermaksud mengingatkan kembali pembaca pada prinsip-prinsip etis dalam branding dan membangun image.
Satu hal yang perlu diingat dalam etika bisnis – bisnis apapun, bisnis komoditas maupun bisnis pendidikan – adalah prinsip bahwa bisnis yang baik adalah bisnis yang etis.Â
Pernyataan publik sebagai pembangunan image atau promosi atau bahwa sekadar pengumuman harus setia pada apa yang sebenarnya ada. Jika penyataan tersebut merupakan janji yang diberikan untuk hal yang akan dipenuhi di masa yang mendatang, maka sebaiknya tidak diberi kesan bahwa hal tersebut sudah terjadi.Â
Disisi lain, jika hal yang dinyatakan tidak benar, sebaikanya tidak dipublikasikan. Membangun hubungan kepercayaan dalam berbagai hal jauh lebih ‘sustainable’ dibandingkan menjadi percontohan namun gagal memenuhi janji. Trust akan menjadi modal yang besar bagi berkembangnya suatu institusi, bahkan, dalam arti tertentu, merupakan modal yang lebih besar daripada profit. Maka koherensi antara ‘image’ lembaga atau usaha dengan kenyataan di lapangan perlu sangat diperhatikan dalam membangun opini publik.