"Gak bisa..tadi kamu yang nawarin ‘mao enak' apa enggak...kok sekarang bilang gak bisa...emang kenapa..?" Rudy semakin heran
"...Huuiih..." Ningsih kembali menghela nafas panjang
"...Mas...." Katanya lagi
"...aku tadi sudah siap...aku juga lagi pengen.....tapi saat buka kancing baju, kamu nanya gimana keadaanku, kabar anak-anakku,....apa mereka tahu kerjaan aku......huk..huk..huk.." jelasnya. Matanya mulai basah oleh butiran-butiran air dari sudut kelopak matanya.
"...aku malu Mas. Malu sama anakku. Inget ibuku di kampung....mereka tahunya kau kerja di Jakarta jadi pembantu.....huk..huk..huk.." sambungnya lagi. Bulir-bulir air mulai mengalir membasahi pipinya. Beberapa helai rambutnya menempel di aliran air matanya.
Tangan Rudy spontan mengusap pungungnya. Membelai pelan rambutnya. Rudy membiarkan wanita asal Sukabumi itu terus menangis.
"....maafin aku Mas. Aku gak bisa....Aku gak bisa...huk...huk..."
Rudy menarik pelan kepala Ningsih dan menjatuhkan lembut di dadanya. Tangan kanannya tetap mengusap lembut kepala Ningsih.
"...Gak papa...gak papa..." bisik Rudy pelan
Ucapan itu terasa melegakan Ningsih. Dia menarik nafas panjang, seolah ingin menunjukkan kebahagiaannya terlepas dari beban berat. Beban moral kepada seorang pelanggan, pelanggan baru yang tertarik dengan penampilannya yang kalem, sopan dan ramah khas wanita desa.
Ingin sekali Ningsih tenggelam dalam dekapan dada pemuda itu. Namun dia sadar, Rudy adalah pelanggan setia Panti Pijat tempatnya bekerja. Sedangkan dia adalah pramu pijat yang harus melayani pelanggan. Hanya kadang-kadang, bila pelanggan membutuhkan dia memberikan layanan ‘service plus‘. Lumayan untuk nambah penghasilan, katanya dalam hati. Tak jarang diapun suka menawarkan diri kepada pelanggannya. Apalagi jika dia sendiri sedang mengalami ‘gejolak hasrat keinginan' yang tak pernah terpenuhi lagi sejak cerai dengan suaminya.