Collins memiliki pandangan bahwa perselisihan relatif jarang terjadi, hanya saja aksi yang dilakukan untuk memisahkan hubungan organisasi. Collins mengatakan bahwa teori konflik sama sekali tidak meninggalkan teori solidaritas sosial, cita-cita sosial, sentimen sosial, dan juga perasaan. Collins memiliki pandangan jika kekuasaan atau otoritas merupakan sifat dari suatu proses interaksional, bukan merupakan sifat dari kepribadian individu.
Dalam pemahaman penulis karena Collins melihat suatu konflik  tidak secara umum (makro) namun ia melihat  konflik dengan cakupan yang sempit dan mengerucut (mikro).Â
Menurut pandangan penulis, stratifikasi tercipta dari adanya interksi yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Interaksi sosial yang dilakukan oleh individu berkaitan dengan adanya kepentingan, kekuasaan, kekayaan, status sosial, yang masing-masing ingin dicapai oleh individu dalam organisasi sosial. Konflik sosial itu ada antar individu dalam organisasi, yaitu adanya perebutan kepentingan dan juga adanya paksaan dari yang berkuasa pada saat itu dan berkuasa atas yang dikuasi.Â
Seseorang yang berada dalam kelas strata sosial yang tinggi akan cenderung menguasai kelas yang rendah dan bersikap otoriter. Sikap tidak terima atas kebijakan yang dibuat pun terkadang muncul dari kalangan kaum strata sosial yang tidak memiliki otoriter, atau istilah lainnya kaum kelas sosial rendah. Kaum kelas sosial tinggi cenderung membuat kebijakan yang menguntungkan dirinya,  karena sikap yang dilakukannya itu  dengan tendensi untuk mempertahankan kekuasaannya. Â
Hal tersebutlah yang membuat terjadinya konflik dalam stratifikasi sosial yang melihat tingkatan status kelas sosial yang disadang oleh setiap individu. Menurut pandangan penulis, konflik tidak dapat terhindarkan dan pasti terjadi karena dalam diri setiap individu memiliki ego emosional masing masing yang memiliki kecenderungan untuk mencapai posisi tertinggi.
Dalam praktik kehidupan sehari-hari pemikiran Collins dapat direfleksikan di dalam suatu organisasi partai politik.  Para anggota partai politik akan memperebutkan posisi tertinggi kekuasaan  yang menjadi tujuannya. Seseorang yang  meduduki posisi tertinggi dalam sebuah organisasi akan bersikap otoriter kepada para anggota lain yang posisinya ada dibawahnya.Â
Seseorang yang memiliki kelas sosial yang rendah di dalam organisasi partai politik tersebut akan saling berebut posisi strategis, posisi yang sangat diinginkan banyak orang. Tak jarang sesama teman saling ingin menjatuhkan demi memperebutkan kekuasaan tertinggi itu. Konflik pun sering terjadi dengan adanya pertentangan yang dilandasi sifat egoisme masing-masing individu.
Referensi : Collins, R. Teori Sosiologi Modern (2004) dan Collins, R.  Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma (2012).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H