Mohon tunggu...
Elsa K. Filimdity
Elsa K. Filimdity Mohon Tunggu... Mahasiswa - S1 Fakultas Teologi, Penulis, Seniman, Atlit.

Elsa K. Filimdity, S.Si Teol, adalah mahasiswi lulusan Fakultas Teologi UKSW strata 1. Aktif berorganisasi sejak SMP, menjadi Ketua OSIS SMP Kristen 1 Pulau-pulau Aru selama 2 periode, Ketua OSIS SMA Negeri 1 Dobo (sekarang SMA Negeri 3) 2016/2017. Ketua Forum Anak Jargaria (FAJAR), Pengurus Forum Anak Maluku Manisse 2017-2019. Sekretaris 2 Kwarcab Aru, BPMF Fakultas Teologi 2 Periode pada Komisi C dan menjadi Ketua HIPMMA Salatiga 2 periode, 2020-2022 dan sekarang menjabat sebagai Ketua Walang GPM UKSW. Selain aktif di organisasi, segudang prestasi yang diraih ialah, mewakili Kepulauan Aru sebagai Atlit Catur 2010, mewakili provinsi Maluku untuk Volly Ball Puteri di Jakarta 2014, mewakili Klasis GPM Aru untuk Baku Dapa Anak Remaja GPM, Saumlaki 2015, mewakili Kepulauan Aru untuk Musicalisasi Puisi di Ambon 2016, menjadi Duta Anak Maluku pada Forum Anak Indonesia, Riau 2017. Aktif mengikuti pramuka dengan menjadi: Anggota Saka Bahari dan Anggota Saka Bhayangkara Kepulauan Aru. Hobby: Menulis, Bermain Alat Music (Piano, Suling, Gitar), Cipta Lagu & Puisi, serta olahraga Volly dan Catur.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Stop Politik Identitas

22 Januari 2024   09:53 Diperbarui: 22 Januari 2024   15:32 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesembilan, polarisasi. Dalam perdebatan pilpres 2019, kedua paslon berdebat dengan tenang tetapi perdebatan yang cukup keras dilakukan oleh para pendukung kedua kubu yang berbeda terjadi di media sosial. Dalam hal ini pola yang dilakukan oleh para pendukung percaya bahwa dengan media sosial dengan kehidupan dunia online dapat mengubah realitas secara offline. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa potensi polarisasi yang di akibatkan narasi di media sosial merupakan hal yang tumpang tindih yang dapat mengakibatkan potensi perpecahan di NKRI.[9] 

Kesepuluh, anti pancasila. Dampak dari politik identitas ini dapat mengancam keutuhan dan kesatuan NKRI. Politik identitas bersifat partikulturastik yang bersifat politik pecah belah, yang mengutamakan kepentingan sendiri dan egoisme. Seperti aksi 212 dikatakan sebagai aksi dan gerakan anti panasila, karena para pihak tertentu mengungkit isu bahwa FPI selaku pimpinan dan komando dari aksi 212 mempunyai tujuan dan cita-cita ingin menjadikan indonesia sebagai negara Khilafah Islamiah atau negara Islam. Dari dampak kekuasaan politik tersebut dengan membawakan agama untuk melahirkan aksi besar yang ingin merobohkan pondasi NKRI.[10]

Kesebelas, anti nasionalisme. Dampak dari politik identitas ini juga dapat menghilangkan rasa nasionalis, politik identitas sering kali menjadi penyebab utama munculnya konflik politik terutama berkaitan dengan mayoritas--minoritas, dan superior--inferior, dengan demikian politik identitas juga dapat mengancam rasa nasionalisme dengan sebuah realitas keagamaan yang dialami bangsa Indonesia Hal ini yang mengakibatkan perubahan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Politik dengan membawakan agama dapat melahirkan dampak langsung maupun tidak langsung dalam perubahan sosial masyarakat.[11]

Keduabelas, Ekonomi. Mungkin terdengar aneh politik identitas memiliki dampak terhadap ekonomi. Namun inilah realita-Nya. Kami mengutip apa yang ditelit oleh Gusti Made dan Kadek Sintya tentang Identitas Politik dan Politik Identitas Masyarakat Muslim di Bali. Akibat dari ketidakadilan yang dirasakan oleh kaum Muslim di Bali seperti pemerataan infrasturktur dan akses lainnya membuat orang-orang muslim disana merasa sebagai kaum yang minoritas, penelitian itu menujukan terdapat perbedaan jumlah penghasilan, pembagian tanah serta properti. [12] Politik identitas dinilai berdampak panjang bagi kehidupan sosial masyarakat. Politik identitas yang biasanya digunakan dalam kepentingan pemilu dan setelahnya tidak ada upaya untuk menyembuhkan perselisihan di tengah masyarakat. Menurut Direktur AMAN Indonesia, Rubi Khalifa, politisasi identitas yang terjadi di Jakarta, sesungguhnya para elite politik tidak pernah menyiapkan remedy-nya untuk menyembuhkan masayarakat. Hal ini nampak pada isu-isu kriminalitas ulama hingga polemic ucapan natal. Rubi menyampaikan bahwa jika menggunakan politik identitas dalam pemilu, maka harus menyadari dan mengatasi dampak yang terjadi di tengah masyarakat.[13]

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun