Hidup di kota metropolitan seperti Jakarta memang harus siap dengan segala resiko dan permasalahan yang ada didalamnya. Beban berat yang disandang Jakarta, sebagai ibu kota negara Indonesia, pusat ekonomi sekaligus sebagai pusat pemerintahan mengakibatkan kota yang didirikan oleh Fatahillah pada Juni 1527 silam makin terseok-seok.
Jakarta setelah 485 tahun pun semakin renta. Ketidaksiapan menerima arus urbanisasi sekaligus kesalahan pentataan kota membuat Jakarta laksana lautan masalah. Semua masalah ada di sini, dari masalah sampah, banjir, kriminalisme, pengangguran.
Jakarta kini bak mesin pembunuh bagi warganya sendiri. Jalan raya dipenuhi kendaraan bermotor baik roda dua, roda tiga dan roda empat. Polda Metro Jaya pernah mencatat pada Juli lalu selama satu minggu, angka kecelakaan mencapai 111 kasus dengan total korban jiwa mencapai 21 orang meninggal dunia, korban luka berat dengan total 45 jiwa, dan korban luka ringan totalnya 71 jiwa.
Kehidupan Jakarta tak lagi ramah bagi penghuninya atau jangan-jangan ini merupakan cerminan dari bangsa kita yang sudah tidak lagi ramah dengan rakyatnya.
Ok…kepanjangan narasinya, disini saya akan sedikit berbagi cerita tentang ketidakramahan jalanan Jakarta, begini cerita:
Gadis itu…
Jum’at (21/9) 18.30 sepulang kerja seperti biasa saya melewati jalanan disekitar Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata di bilangan Jakarta Selatan. Lima menit setelah keluar dari kantor saya berhenti persis disamping TMP untuk membetulkan jaket dan mengunci tali helm sambil menunggu arus lalu lintas yang lumayan ramai di petang itu.
Jalanan di sekitar TMP Kalibata yang terbagi dua, satu arah menuju pertigaan Kalibata dan arah lainnya menuju ke Cililitan petang itu cukup padat seperti layaknya jalanan di Jakarta pada jam pulang kantor.
Lumayan ada sekitar 5-10 menit saya berhenti, pandangan saya tertuju pada seorang gadis berusia antara 17-20 tahunan yang menyeberang dari arah utara (pertigaan kampus STEKPI) menuju kearah selatan dimana saya berada. Si gadis berupaya menunggu arus lalu lintas sedikit sepi tapi tetap saja kendaraan dari arah pertigaan Kalibata menuju Cililitan tak pernah surut bahkan semakin ramai. Mungkin karena terlalu lama menunngu atau diburu waktu si gadis nekat menyeberang, sampai ditengah si gadis berhenti sejenak seperti hendak berkata “tolong dong, kasih saya jalan 1 detik saja untuk menyeberang”, namun seperti biasa pengendara motor dan mobil seperti tak menghiraukan kehadiran gadis itu, mereka tetap saja melaju tanpa ragu.