Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rahasia Emak

9 Agustus 2024   04:52 Diperbarui: 9 Agustus 2024   06:00 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixabay.com

Awalnya sulit nian menebak isi hati Emak. Sebab ia pintar sekali menyembunyikan perasaannya. Apa pun yang dihadapi ekspresi wajahnya sama sekali tidak berubah. Tetap terlihat teduh. Senyumnya senantiasa tersungging tak kunjung luntur.

Emak memang selalu begitu. Dulu pun, saat memergoki Bapak melakukan kesalahan yakni tergoda oleh perempuan lain--janda muda yang tinggal bersebelahan rumah dengan kami, Emak sama sekali tidak marah. Raut mukanya tetap tenang. Bibirnya tidak pula mengumbar ujaran kebencian seperti yang kerap dilakukan oleh perempuan-perempuan lain ketika hatinya tersakiti.

Aku masih ingat benar, bukannya marah membabi buta, Emak malah menggandeng tangan Bapak. Mengajaknya pulang setelah terlebih dulu membantu mengenakan sandal dan merapikan sarung Bapak yang melorot. 

Duh, Emak. Aku saja yang melihat kelakuan Bapak merasa amat malu dan ingin sekali melabraknya habis-habisan.

Terhadap perempuan selingkuhan Bapak, Emak juga bersikap sangat baik. Ia tidak menjambak atau mencakar wajahnya. Emak hanya meninggalkan pesan, "Aku mendoakanmu agar segera diberi hidayah oleh Allah untuk kembali menjadi perempuan yang benar."

Sesampai di rumah, kukira Emak akan berubah pikiran. Melampiaskan kemarahan yang barangkali memang sengaja ditunda-tunda. Aku yang ketika itu masih berusia belasan tahun, menunggu dengan was-was di pojok ruangan. Siap menyaksikan hal terburuk yang akan terjadi.

Tapi ternyata tidak. Usai menutup pintu, Emak berlalu dengan tenang menuju dapur. Menjerang air. Lalu menyeduh secangkir kopi untuk Bapak.

Masih dengan wajah tidak berubah, Emak menghampiri Bapak yang duduk terpekur di ruang tengah. Emak menggeser sebuah kursi. Menjejeri suaminya itu sembari berkata, "Minumlah dulu. Supaya pikiranmu tenang dan tubuhmu tidak masuk angin."

Bapak tidak menyahut. Hanya tangannya tampak gemetar ketika meraih kopi yang tersaji di atas meja. Pemandangan itu tentu saja membuat hati kecilku bertanya-tanya. Bagaimana mungkin Emak bisa bertahan sesabar itu? Apakah karena ia terlalu mencintai sehingga kesalahan apa pun yang dilakukan oleh Bapak menutupi sebagian hatinya?

Entahlah, aku tidak tahu. Yang kulihat Emak masih saja duduk dengan tenang di samping Bapak. Tanpa sedikit pun mengungkit-ungkit kejadian yang memalukan itu, yang baru saja dilakukan oleh Bapak dan telah menggegerkan seisi kampung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun