Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Cersil (7): Sapu Tangan Merah

25 Juli 2024   05:54 Diperbarui: 25 Juli 2024   06:32 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang lelaki tua berpakaian compang-camping berkali memicingkan mata. Dengan kaki tegak mengawasi ke mana arah sapu tangan merah itu melesat. Bibirnya yang kering sesekali bergerak seolah mengucap mantra. Dan, tubuhnya nyaris terjengkang ke belakang ketika tiba-tiba saja sapu tangan merah itu mucul di hadapannya.

"Apa yang terjadi padamu, Merah? Apakah kau benar-benar telah kehilangan jejak? Aku sebentar lagi mati. Ayolah, cobalah melesat sekali lagi. Kali ini terbanglah ke arah timur!" Laki-laki tua itu memerintah dengan suara serak. Sapu Tangan Merah sontak berputar-putar mengitari tubuhnya sebelum kemudian terbang tinggi dan menghilang entah ke mana.

Lelaki berusia lebih dari setengah abad itu tak lain adalah Pendekar Gong Bumi. Pendekar yang sangat disegani di dunia persilatan karena kesaktiannya yang mumpuni. Meski jarang menunjukkan diri bukan berarti pendekar-pendekar lain tidak mengenalnya. Namanya sudah malang melintang, tertera di atas batu-batu cadas lautan, pegunungan, di atas permukaan daun-daun yang bahkan ketika daun-daun itu baru bersemi.

Selain terkenal sakti mandraguna, pendekar ini memliki satu keunikan. Setiap hari dia selalu merasa dirinya sudah hampir mati. Itulah sebab ia menjalani hidup sangat bersahaja. Macak ala kaum sudra dengan pakaian dedel duel gantung kepuh. Dia tak peduli orang-orang di sekitarnya menganggapnya 'agak laen'. Dia hanya peduli pada satu pemikiran, bahwa semua yang ada di dunia ini akan kembali pulang ke asalnya, ke sangkan paraning dumadi. Segala bentuk atribut material yang menempel pada tubuh tidak akan dibawa serta.

"Wong urip iku saderma mampir ngombe." Selalu itu yang ia terapkan dalam naluri beningnya sehari-hari.

Lantas untuk apa di pagi yang cerah itu sang pendekar sudah berdiri di perbatasan hutan gung liwang liwung, yang konon dijaga harimau raksasa? Kiranya ada maksud tersembunyi. Sang pendekar ingin mengembalikan Sapu Tangan Merah milik Pendekar Mawar Hitam. Perempuan yang pernah tak sengaja bertemu dengannya dan nyaris membuatnya menjadi manusia normal.

"Kangmas jangan terlalu banyak ngudut. Sayangi raga sendiri." Kata-kata bernada lembut itu pernah singgah di telinganya.

"Akan aku coba, Wok. Tapi tidak janji, yaa... " Begitu ia menanggapi ucapan perempuan yang duduk di hadapannya itu dengan seulas senyum kecil. Ya. Ia tersenyum karena merasa lucu mendapat perhatian dari seorang perempuan yang baru saja dikenalnya.

Siur angin menerpa wajahnya yang lelah. Sejenak kepalanya menengadah, menatap awan yang berarak tak beraturan. Kemudian ia memutuskan melangkahkan kaki menuju sebatang pohon akasia. Bersandar punggung di sana berusaha menjumputi kembali kenangan manis yang tercecer bersama perempuan cerdas itu.

Perempuan cerdas? Ia tersenyum sekali lagi. Bagaimana tidak, perempuan itu adalah satu-satunya pendekar yang berhasil membuka penyamarannya. Bahkan mengetahui dengan detail siapa sesungguhnya dirinya.

Tapi sayang kisah manis itu hanya singgah sebentar saja. Pagebluk yang melanda bumi beberapa tahun silam memorakporandakan semuanya. Ia kehilangan jejak Pendekar Mawar Hitam itu. Mereka terpisah tanpa kabar tanpa berita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun