Tampak Maha Guru Ayah berdiri di ambang pintu.Â
"Aku senang pagi ini kau terlihat lebih segar, Nyai. Kukira racun itu sudah lenyap dari pundakmu."
"Semoga begitu, Guru. Saya---eh, aku ingin segera pulih agar bisa..." Nyai Fatimah tidak melanjutkan kalimatnya.
"Agar bisa segera meninggalkan padepokan ini?" Maha Guru Ayah menebak asal. Tapi ternyata tebakannya itu benar. Nyai Fatimah mengangguk. Maha Guru Ayah sontak terdiam. Laki-laki itu hanya bisa memendam rasa kecewa di dalam hati. Ia tahu, Nyai Fatimah jikalau sudah memiliki niat pantang diganggu gugat.
"Baiklah. Lanjutkan sarapanmu, Nyai. Aku pamit dulu. Ada tamu yang harus kutemui." Maha Guru Ayah berbalik badan, meninggalkan kamar dengan langkah tegap.
Sementara Nyai Fatimah, sepeninggal Maha Guru Ayah diam-diam merengut kesal. Seraya melempar jagung di tangannya kuat-kuat ke luar jendela, ia menggeram, "Firdauuus...hhhh, kenapa kamu tidak berusaha mencegahku?"Â
***
Duhai niat, apa pun yang hendak kauperbuat jangan terikat pada balasan. Berilah dengan hati yang terbebas dari keinginan.
Di Sekitar Hutan Garangan
Sapu tangan merah itu melayang ke udara. Berputar-putar cukup lama dengan suara mendesing. Lalu merendah. Kemudian melayang lagi dengan kecepatan tinggi.
Dari jauh sapu tangan merah itu terlihat seperti induk burung kenari yang tengah terbang kebingungan.