"Tahan Kisanak! Tahan dulu! Apa yang menimpamu bukanlah kesengajaan!" Pendekar Kantong Bolong berusaha menjelaskan. Tapi sosok yang tak lain adalah Pendekar Tua Aneh itu seolah tak mendengar. Ia tetap saja menyerang dengan jurus-jurus mematikan.Â
Merasa jiwanya terancam, Pendekar Kantong Bolong terpaksa meladeni serangan-serangan yang datangnya bertubi-tubi dan tanpa jeda itu. Meski sebenarnya ia sedang tidak ingin bertarung. Tapi jika tidak melakukan perlawanan bisa-bisa tamat riwayatnya.
"Terimalah jurus Macan Kesurupan ini! Hiiiyaaaaa....auuuummmm!!!"
Bak harimau terluka, Pendekar Kantong Bolong menerjang ke arah Pendekar Tua Aneh. Dan, tiba-tiba saja keduanya sudah bergumul, saling terkam, saling banting, saling tindih, lalu bergulingan di atas tanah seperti gasing.
Suasana kian tak terkendali. Asap tebal bergulung-gulung mengitari arena pertarungan. Udara malam yang semula dingin berubah menjadi panas dan pengap. Debu beterbangan di sana-sini akibat hentakan-hentakan kaki yang disertai kekuatan bertenaga dalam.
Sepertinya pertarungan malam itu tidak akan pernah berakhir.
"Jurus Ekor Buaya Melambai! Ciaaaaatttt!!!"
"Jurus Monyet Menari! Hiyaaaaa....!!!"
"Jurus Kadal Buntung!"
"Jurus Nenek Gayung!"
Segala jurus andalan beruntun dikeluarkan. Tapi salah satu atau kedua dari pendekar itu tak ada yang tumbang. Mereka masih tampak tangguh. Segar bugar. Masih sigeg berdiri di atas kaki masing-masing. Tak ada perubahan yang berarti kecuali wajah yang belepotan terkena keringat bercampur debu.