Saya berusaha sebaik mungkin menjadi orang tua tunggal yang bisa diandalkan. Meski saya tidak menutup mata, bahwa kehadiran sosok ayah bagi anak-anak tetaplah yang utama dan tidak bisa tergantikan.
Sampai pada suatu ketika saya menyadari, perlahan tapi pasti anak-anak telah terjangkit sindrom Father Hunger.Â
Dari mana saya tahu?
Dari perubahan perilaku yang tertangkap oleh mata dan insting saya. Anak-anak yang semula ceria berubah menjadi insecure dan introvert.
Ya, sebagai ibu yang selalu mendampingi tentu saja saya dapat mengetahui dan merasakan perubahan perilaku tersebut, sekecil apa pun itu.Â
Puncak perubahan perilaku ini terjadi pada fase peralihan atau usia pra remaja.
Bicara dari Hati ke Hati
Tentu, mendapati kenyataan yang cukup mengkhawatirkan ini, saya tidak boleh tinggal diam. Saya harus melakukan sesuatu untuk mencegah sindrom Father Hunger semakin leluasa bercokol dan menguasai jiwa anak-anak. Dan, langkah pertama yang saya ambil adalah: Saya mengajak anak-anak duduk satu meja untuk bicara dari hati ke hati.Â
Saya menaruh harapan besar terhadap pendekatan secara intensif ini. Seraya tak henti memberi dorongan semangat agar anak-anak tampil lebih percaya diri, tidak insecure terhadap apa yang telah terjadi pada perjalanan hidup mereka sehubungan dengan perpisahan kedua orang tuanya.
"Perceraian bukanlah sesuatu yang memalukan. Bisa jadi ada rahasia Tuhan yang tidak kita ketahui, yang kelak menjadikan kita merasa sangat bersyukur."