"Tanpa bertanya kau pasti akan menjelaskannya." Rin tersenyum manis. Aku sontak tersipu malu.Â
Rin benar. Aku---tanpa ditanya biasanya akan menjelaskan secara detail apa-apa yang telah kusampaikan kepadanya.Â
"Kami bertemu dalam mimpi, Rin. Di malam-malam tertentu." Aku menjelaskan seraya mencicipi sejumput parutan kelapa muda yang dicampur gula merah, yang membuat sajian ketan terasa gurih dan manis.Â
"Oh, pasti sangat menyenangkan!" Rin merespon kata-kataku dengan suara renyah.Â
"Ya! Sangat menyenangkan. Dan, sesuai dugaanku. Rahwana itu lelaki baik. Amat sangat baik. Selain itu---dia juga sangat tampan." Aku mengedipkan sebelah mataku.Â
"Pasti dia brewokan dan rambutnya gondrong." Rin menimpali sambil tertawa. Aku pun ikut tertawa. Dasar bestie. Kriteria ketampanan seorang laki-laki yang berusaha kusembunyikan rapat-rapat di dalam otakku pun, Rin dengan mudah mengetahuinya.Â
***
Jika aku lebih banyak bercerita pada Rin tentang sosok Rahwana, Rin malah lebih suka membicarakan seputar dunia kucing.Â
Rin. Sang Ratu Kucing. Demikian aku menjulukinya. Dia terlihat begitu bangga dan bahagia saat julukan itu kusematkan kepadanya.Â
Aku senang melihat Rin tampak bahagia. Apalagi ketika ia bercerita tentang anak-anak kucing liar yang berlarian membuntutinya.
"Anabul-anabul lucu itu usai kuberi makan pasti berebut memanggilku dengan suara yang indah dan merdu."Â
Indah dan merdu? Duh, sedemikian sayangnya Rin pada makhluk-makhluk berbulu halus itu sampai-sampai suara eongan berubah menjadi nyanyian merdu begitu singgah di cuping telinganya.Â