Malam kian pekat dipeluk kabut. Aroma wangi dedaunan sesekali menguar menyentuh cuping hidung. Kutahan kantuk yang sedari tadi berlalu lalang di pelupuk mata.
Sementara Rin, ia masih duduk di hadapanku sembari memeluk lutut. Bibirnya yang pucat terkatup rapat. Tak ada sepatah kata yang terucap. Hanya tatapannya sesekali terpecah. Kadang tertuju padaku, kadang terlempar jauh ke arah rembulan yang hilang timbul di balik awan.Â
"Boleh kupeluk kau, Rin?" Aku bertanya hati-hati. Ia tidak menjawab. Hanya sorot matanya perlahan mulai berubah. Tidak lagi kosong. Ada secercah senyum yang berusaha disembunyikan di dalamnya. Dan, itu membuatku menggeser duduk.Â
"Memelukku? Kautahu itu sangat konyol dan tidak mungkin." Kali ini Rin tak ragu lagi mengumbar senyum.Â
"Terserah kau mau bilang apa, Rin. Tapi sejak dulu---sejak pertemuan kita itu, satu hal yang ingin kulakukan adalah bisa memelukmu." Bisikku bersungguh-sungguh.Â
Derit pintu membuatku menoleh. Ann, istriku, masuk ke dalam kamar lalu mengayun langkah menuju jendela yang masih terbuka.Â
"Malam ini terasa sedikit aneh. Bukan begitu, Sam?" Ann berkata seraya mencondongkan kepala sedikit ke luar jendela. Aku tidak menyahut. Pandanganku kembali tertuju pada lilin di atas meja yang cahayanya kian meredup.Â
"Boleh kututup jendela ini, Sam? Angin malam tidak baik bagi kesehatanmu." Ann berbalik badan. Menatapku beberapa detik.Â
"Tunggu sampai batang lilin ini meleleh habis, Ann. Aku masih ingin menghabiskan waktu bersama Rin."
Aku nyaris mengucapkan kata-kata itu kalau saja sesuatu---berbulu hitam, tidak meloncat secara tiba-tiba. Mengagetkan Ann.Â