Bagai mimpi rasanya bisa mendapatkan semua ini. Perubahan yang seolah mustahil. Sebab bagaimana bisa seorang raja tertarik pada gadis dari kalangan jelata sepertiku? Apa yang membuatnya jatuh cinta?
Tapi kemudian aku teringat kata-kata Ayah. Ayah pernah memujiku jikalau aku ini gadis yang cantik. Gadis yang memiliki postur tubuh bagus, kulit putih, hidung bangir. Juga mata indah. Mata yang-masih kata Ayah, sangat pantas dimiliki oleh seorang permaisuri.Â
Sungguh. Aku sangat tersanjung. Dan, puja-puji itu perlahan membawa pengaruh bagi pertumbuhan karakterku. Diam-diam aku menyimpan obsesi besar. Bahwa suatu hari nanti aku tidak saja akan menyingkirkan dua selir cantik itu---Wahita dan Puyengan, tapi aku juga harus bisa menjadi permaisuri tunggal di Negeri Blambangan.Â
Mimpiku perlahan bergerak menuju nyata. Tak berselang lama didapuk menjadi seorang selir, aku mengandung dan melahirkan bayi laki-laki titisan Kang Mas Prabu. Bayi yang kugadang-gadang kelak bakal mengangkat derajatku dari seorang selir menjadi permaisuri.
Tapi sebuah peristiwa pahit memupuskan semua harapanku.Â
Suatu malam Ayah datang ke tempat persembunyianku dengan wajah tegang dan tubuh gemetar.Â
"Ada apa, Ayah? Apa yang telah terjadi?" Aku bertanya gusar.Â
"Prabu Minak, Nduk! Seorang pemuda bernama Damar Wulan telah berhasil membunuhnya!"
"Apa?!" Sontak aku merangsek maju. Menatap Ayah dengan sorot mata tak percaya.Â
"Terlalu panjang dan rumit untuk diceritakan, Nduk. Yang jelas peristiwa ini melibatkan mereka, dua selir sainganmu itu." Ayah menjelaskan.Â
"Wahita dan Puyengan? Apa yang sudah mereka lakukan, Ayah? Apakah mereka berkhianat?" Aku mencecar Ayah dengan pertanyaan bertubi-tubi. Dan, Ayah mengangguk pelan.Â