Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Laki-Laki yang Ingin Menjadi Hantu

8 Oktober 2023   20:54 Diperbarui: 9 Oktober 2023   04:55 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.istockphoto.com

Sudah lama laki-laki itu bercita-cita ingin menjadi hantu. Sejak dia masih bocah. Sejak ditinggal pergi oleh ibunya dan harus hidup berdua saja bersama neneknya yang cerewet dan mulai pikun.

Nama laki-laki itu Samijan. Usianya masih muda. Sekitar dua puluh tahun. Dan, ia tidak pernah merasakan duduk di bangku sekolah.

Bukan karena neneknya tidak mampu menyekolahkannya, bukan. Tapi ia sendiri yang menolak untuk disekolahkan. Sebab, menurut pemikirannya, sekolah terlalu banyak aturan. Dan, ia tidak suka itu.

Karena tidak memiliki kegiatan belajar itulah, Samijan lebih banyak menghabiskan waktu dengan duduk-duduk termenung di bawah pohon beringin yang tumbuh di depan rumah.

"Tidak sekolah mau jadi apa kau nanti, Jan?" Entah sudah berapa kali nenek mengulangi pertanyaan itu. Sejauh ini jawaban Samijan tetap sama. 

"Aku ingin menjadi hantu, Nek. Bukankah hantu tidak perlu bersekolah?"

"Dari mana kautahu hantu tidak bersekolah?" Nenek menatapnya tajam. Samijan hampir saja mengatakan sesuatu. Tapi urung.

"Dasar pemalas!" Nenek tampak sangat kesal. Samijan tidak menyahut. Ia sedang enggan berdebat. Lagi pula ia tahu tidak bakal menang berdebat melawan nenek.

Biasanya kalau sudah dimarahi begitu, Samijan memilih pergi menjauh. Menyendiri. Ke mana lagi kalau tidak duduk di bawah pohon beringin yang rindang itu.

Di sana, di bawah pohon yang tidak diketahui siapa penanamnya, Samijan menggerutu panjang.

"Pasti diomeli nenekmu lagi, yaa..." Sebuah suara berat menegurnya. Samijan sontak menoleh ke arah kiri. Mencari suara tanpa rupa itu.

"Ya. Nenek bertahun-tahun mengatakan hal yang sama kepadaku. Aku bosan mendengarnya." Samijan bergumam pelan. Dia tahu, yang sedang mengajaknya bicara adalah hantu penghuni pohon beringin tua itu. Dan, dari hantu itulah ia mengetahui kehidupan makhluk tak kasat mata.

Salah satunya adalah, di dunia perhantuan tidak ada kewajiban untuk bersekolah.

Oh, ya. Hantu bersuara berat itu bernama Bakri. Ia sudah lama berteman dengan Samijan.

"Lalu apa rencanamu selanjutnya?" Hantu Bakri bertanya hati+hati.

"Rencanaku? Secepatnya menjadi hantu! "Samijan menjawab antusias.

"Untuk menjadi hantu sepertiku kau harus mati dulu. Jan. Oh, ya. Kuberi tahu. Aku dulu korban tabrak lari. Itulah sebab aku dipanggil Bak-ri."

"Wah, ide yang bagus sekali! Aku ingin mencobanya." Wajah Samijan berubah sumringah.

"Mencoba apa?" Hantu Bakri mengernyitkan alis

"Jadi korban tabrak lari. Sepertimu." Samijan tersenyum. 

Hantu Bakri seketika terperangah.

***
Siang itu juga Samijan ingin mempraktikkan ide yang didapat dari masa lalu hantu Bakri. Menjadi korban tabrak lari.

Ia lantas beranjak dari duduk bersandarnya, melangkah sigap ke arah jalan desa. 

Setelah menengok kanan kiri ia merebahkan diri di atas jalan beraspal. Ia berharap ada pengendara motor atau mobil yang sudi menabraknya.

Namun, hingga ia ketiduran tidak satu pun roda kendaran menyentuh tubuhnya. Malah jeweran nenek yang singgah di telinga, bertubi-tubi membangunkannya.

"Mungkin kau harus mencoba cara lain, Jan." Bisik hantu Bakri yang terus mendampingi. Samijan mengangguk setuju. Siap menerima saran lain yang lebih jitu.

***
Esoknya Samijan bangun lebih awal dari biasanya. Usai mandi ia segera berpakaian rapi. Rambutnya klimis dan disisir model belah tengah.

"Mau ke mana sepagi ini, Jan?" Nenek menegurnya.

"Aku akan pergi ke kota, Nek. Peluang menjadi hantu di kota jauh lebih besar." 

Samijan menjawab sembari meraih sepatu yang tercecer di kolong meja.

"Pasti hantu bernama Bakri itu telah memengaruhimu!" Nenek berseru marah.

"Kok nenek tahu ada hantu bernama Bakri?" Samijan sontak terkejut. Nenek segera meraih lengan cucunya itu dan membimbingnya duduk.

"Dengar, ya, Jan. Bakri---si hantu itu sudah menipumu. Dia sebenarnya menyesal karena telah memilih mati muda."

"Memilih mati muda? Bukankah dia korban tabrak lari?" Samijan mengernyitkan dahi.

"Dia berbohong. Jan. Dia mati muda karena bunuh diri. Lalu ruhnya gentayangan dan menjadi penguasa pohon beringin itu."

"Dulu, Bakri juga sempat memengaruhi nenek agar mengakhiri hidup ketika ibumu pergi meninggalkan rumah. Tapi nenek tidak menggubrisnya. Nenek bahkan mengancam akan menebang pohon beringin itu kalau dia terus menerus menggangguku."

Mendengar penuturan nenek, Samijan sontak terdiam.

"Satu lagi. Kalau nenek mati, siapa yang akan mengurusmu? Sebaliknya, kalau kamu mati muda, siapa kelak yang akan mengurus nenek? Kamu satu-satunya cucu nenek, Jan. Jadi tetaplah hidup agar ada yang menjaga nenekmu ini."

Entah mengapa kali ini hati Samijan tersentuh oleh kata-kata nenek.

Nenek benar. Kalau dia mati dan menjadi hantu, nenek tentu akan sangat kesepian.

Tidak. Samijan tidak menginginkan hal itu. 

Serta merta diraihnya kapak yang tergeletak di kolong amben. Setelahnya, gegas kakinya melangkah menuju pohon beringin tua yang dihuni oleh hantu penghasut itu. 

Crak, crak, crak. 

Kapak tajam berkali terayun melukai batang pohon yang keras itu. Tangan Samijan pun terus bergerak. Tanpa henti. Hingga pohon besar itu roboh di atas tanah. 

Lantas, bagaimana dengan nasib hantu Bakri?

Konon, hantu itu terpaksa mengungsi ke ibu kota. Menempati rumah kosong milik seorang pejabat yang baru saja disita oleh KPK.


***
Malang, 8 Oktober 2023
Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun