Sudah lama laki-laki itu bercita-cita ingin menjadi hantu. Sejak dia masih bocah. Sejak ditinggal pergi oleh ibunya dan harus hidup berdua saja bersama neneknya yang cerewet dan mulai pikun.
Nama laki-laki itu Samijan. Usianya masih muda. Sekitar dua puluh tahun. Dan, ia tidak pernah merasakan duduk di bangku sekolah.
Bukan karena neneknya tidak mampu menyekolahkannya, bukan. Tapi ia sendiri yang menolak untuk disekolahkan. Sebab, menurut pemikirannya, sekolah terlalu banyak aturan. Dan, ia tidak suka itu.
Karena tidak memiliki kegiatan belajar itulah, Samijan lebih banyak menghabiskan waktu dengan duduk-duduk termenung di bawah pohon beringin yang tumbuh di depan rumah.
"Tidak sekolah mau jadi apa kau nanti, Jan?" Entah sudah berapa kali nenek mengulangi pertanyaan itu. Sejauh ini jawaban Samijan tetap sama.Â
"Aku ingin menjadi hantu, Nek. Bukankah hantu tidak perlu bersekolah?"
"Dari mana kautahu hantu tidak bersekolah?" Nenek menatapnya tajam. Samijan hampir saja mengatakan sesuatu. Tapi urung.
"Dasar pemalas!" Nenek tampak sangat kesal. Samijan tidak menyahut. Ia sedang enggan berdebat. Lagi pula ia tahu tidak bakal menang berdebat melawan nenek.
Biasanya kalau sudah dimarahi begitu, Samijan memilih pergi menjauh. Menyendiri. Ke mana lagi kalau tidak duduk di bawah pohon beringin yang rindang itu.
Di sana, di bawah pohon yang tidak diketahui siapa penanamnya, Samijan menggerutu panjang.