Siang itu warga desa Wetan Kali dibuat geger. Tersiar kabar, Tubir yang tujuh hari lalu meninggal dunia, hidup lagi.
Salah seorang warga melihat laki-laki berusia tiga puluh tahun itu berjalan terseok menuju rumahnya. Masih mengenakan kain kafan yang belepotan tanah.
Bangkitnya Tubir dari kubur sampai juga ke telinga Basuki. Berita itu disampaikan oleh Tukinem, istrinya.
"Mana ada orang mati hidup lagi, Nem? Jangan ngawur kamu!"
Basuki mengomel seraya membetulkan letak sarungnya yang melorot. Tukinem melengos kesal. Ia hafal betul kebiasaan Basuki. Suaminya itu gampang sekali tersulut emosi jika tidur siangnya terganggu.
"Tidak percaya sama aku, ya sudah!" Tukinem berbalik badan. Ia enggan ribut dengan laki-laki yang menurutnya---semakin tua semakin menyebalkan.
***
Basuki meraih sepeda yang tersandar di dinding teras. Ia memututuskan untuk segera mendatangi rumah Tubir. Selain penasaran, ia juga ingin memastikan apa benar laki-laki yang pekerjaannya angon kambing itu hidup lagi setelah tujuh hari mati.
Tiba di halaman rumah Tubir, Basuki tertegun. Sudah banyak orang berdiri berkerumun di sana. Sama seperti dirinya, orang-orang itu ingin memastikan kebenaran berita menghebohkan itu.
Setelah menyandarkan sepeda pada batang Pohon Mahoni, Basuki menerobos kerumunan, masuk ke dalam rumah Tubir yang tidak seberapa luas, dan langsung menuju ke ruang dalam.
Mata tuanya sontak terbelalak begitu melihat penampakan Tubir. Laki-laki itu duduk santai di atas amben bambu, asyik mengisap sebatang rokok.
Melihat kehadiran Basuki, Tubir meletakkan puntung rokok di tangannya dan berseru riang, "Apa kabar, Pak Tua?"
Jantung Basuki nyaris copot mendengar seruan itu. Tubir bisa bicara? Sebab ia pernah mendengar, orang yang pernah mengalami kematian dan sempat dikuburkan akan kehilangan suara.Â
Entah siapa yang bilang begitu. Basuki lupa.
"Jangan hanya berdiri di situ, Pak Tua. Duduklah di sini. Di hadapanku."
Tubir tersenyum lebar. Sederet giginya yang kuning menyeruak, menyilaukan mata.
***
Tanpa diminta Tubir menceritakan pengalamannya sebelum dan sesudah ia mati.
"Cara matiku boleh dibilang agak memalukan. Aku sedang menggembala beberapa ekor kambing di padang rumput ketika salah satu anak kambing terlepas dari ikatannya dan kabur. Aku berlari mengejarnya. Tapi aku terpeleset kulit pisang yang kubuang sembarangan. Jatuhlah aku. Aku mungkin pingsan, atau mati, atau---entahlah. Tahu-tahu saat terbangun aku sudah berada di alam lain. Alam kubur." Tubir memulai ceritanya.
"Kamu sudah ditarap malaikat belum?" Basuki bertanya takut-takut. Tubir mengangguk, mengiyakan.
"Kalau boleh tahu, apa saja yang ditanyakan malaikat kepadamu?" Basuki bertanya lagi.
"Banyak. Tapi aku lupa. Aku hanya ingat salah satu dari malaikat menyuruhku segera pergi. Ia bilang aku belum waktunya mati." Tubir menjawab seraya menyelonjorkan kaki.
Basuki terdiam. Dan, sempat membatin. Ternyata ada juga malaikat yang lalai melakukan tugas. Sehingga salah mencabut nyawa orang.
Di luar kerumunan orang kian membludak. Mereka memaksa masuk ke dalam rumah Tubir. Karena kondisi sudah tidak terkendali lagi, para aparat keamanan terpaksa ikut turun tangan. Beberapa petugas berseragam membubarkan kerumunan itu dengan mengacung-acungkan pentungan.
Di ruang tengah Tubir masih terus bercerita. Ngalor ngidul. Tapi Basuki sudah tidak tertarik lagi dengan apa yang diomongkan oleh laki-laki bertubuh kurus itu. Ia lebih tertarik pada pergelangan kaki Tubir yang terlihat bersih.Â
Dan, itu membuatnya menyadari sesuatu.
"Pak Hansip, ringkus orang ini! Dia penipu. Dia bukan Tubir. Aku bisa menjelaskannya nanti."
***
Basuki merasa lega. Juga bangga. Berkat ketelitiannya ia berhasil menggagalkan modus penipuan aneh itu.
"Apa sih yang membuat sampean yakin kalau orang itu bukan Tubir?" Tukinem bertanya seraya merapikan tempat tidur.
"Tubir yang asli memiliki luka gores pada pergelangan kaki kirinya. Sedangkan orang itu tidak."
Ketukan pada pintu membuat perbincangan suami istri itu terhenti sejenak. Tukinem gegas keluar kamar, membuka pintu depan dan melihat siapa yang datang.
"Tubir dibebaskan!" Seorang warga memberitahu begitu pintu terbuka lebar.
"Dia bukan Tubir. Dia mungkin saja gelandangan atau seseorang yang mirip dengan Tubir." Basuki menanggapi dengan santai. Ia tidak mau terkecoh lagi.
"Tapi, Pak. Dia benar-benar Tubir. Ada goresan luka pada pergelangan kaki sebelah kanan."
Tukinem sontak melirik ke arah suaminya. Lalu dengan suara pelan ia bertanya, "Posisi sampean saat duduk bersama Tubir, berhadapan atau bersebelahan?"
Seketika Basuki menyadari kekeliruannya.
***
Malang, 20 Mei 2023
Lilik Fatimah Azzahra
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H