Surti yang bersiap mencengklak sadel sepedanya, mengangguk.
"Yakin bulunya hitam meles?"
Surti mengangguk lagi.
"Apakah matanya...?"
"Matanya ada dua!" Agak jengkel Surti menjawab pertanyaan Tarjo yang bagaikan muntahan peluru itu.
"Maksudku, apakah matanya berwarna kuning?"
"Mana aku tahu? Kalau Kang Tarjo penasaran ingin melihat mata kucing itu, datang saja sendiri ke area pemakaman Mbah Angleng."
Surti lantas bergegas menaiki sepedanya. Ia enggan melanjutkan percakapan dengan lelaki yang terkenal suka berjudi dan mabuk-mabukan itu.
***
Bakda Isya Surti pamit pulang. Umi Khatijah mengantarnya hingga pintu pagar. Perempuan paruh baya itu tak lupa mewanti-wanti agar murid perempuannya itu berhati-hati di jalan. Terutama saat melewati area pemakaman Mbah Angleng yang lengang dan sepi itu.
Malam itu Surti mengayuh sepedanya lebih cepat dari biasanya. Di sepenggal perjalanan gerimis mendadak turun. Meski begitu, seperti biasa saat melewati area pemakaman Mbah Angleng, Surti memilih turun dan menuntun sepedanya.
Namun, malam itu terasa ada yang janggal. Surti tidak melihat keberadaan kucing hitam yang biasa duduk bersila di tengah jalan. Ke mana ia?