Senja itu pesta kecil digelar di halaman rumah yang menghadap langsung ke arah bentang laut. Beraneka ragam olahan makanan dihidangkan sebagai jamuan. Kecuali makanan yang berasal dari jenis ikan-ikanan.
Pesta berlangsung sangat meriah dan menyenangkan. Semua tamu tampak puas usai menyantap hidangan yang tersaji di atas meja. Kecuali satu orang tamu, sepupu dari laki-laki jangkung berkumis tipis itu yang tiba-tiba saja menyelutuk. "Dari sekian banyak hidangan, kenapa tidak ada lalapan ikan bakar, cumi oseng, atau sejenisnya?"
Menanggapi celutukan sepupunya itu, si laki-laki jangkung berkumis tipis tanpa sadar menyahut spontan. "Mana mungkin aku tega menyuguhkan makanan yang berasal dari asal usul istriku sendiri?"
Sontak seluruh tamu menatap aneh ke arah Na yang berdiri di samping suaminya. Jantung Na mendadak berdegup kencang. Wajahnya terasa panas. Tanpa menoleh lagi perempuan itu berlari masuk ke dalam rumah dan mengurung diri di dalam kamar.
Sesaat laki-laki jangkung berkumis tipis model cemeti itu tertegun. Ia sadar telah melakukan kesalahan besar. Amat besar. Ia telah melanggar perjanjian yang telah disepakati.
Segera disusulnya sang istri yang masih duduk mematung dekat jendela di dalam kamar. Dengan suara memelas ia memohon agar istrinya itu sudi memaafkannya dan memberinya satu kesempatan lagi.
"Selalu ada kesempatan kedua di dunia ini. Tapi tentu saja dalam bentuk dan kondisi yang berbeda."Â
Na akhirnya bersuara.
Bersamaan dengan itu terdengar deru angin melintas begitu dahsyat disertai kemunculan seorang nenek bertopi ungu runcing, berhidung bengkok. Tubuh nenek itu meliuk-liuk di udara seraya mengendarai sapu terbang.
"Suamiku, penyihir itu sudah datang menjemputku. Waktunya aku kembali ke bentuk semula seperti sebelum bertemu denganmu; seekor ikan. Dan kau sendiri, sesuai dengan keinginanmu akan segera mendapatkan kesempatan kedua."
***
Suatu hari.