"Beri aku kesempatan satu kali lagi, Na. Aku janji tidak akan mengulangi lagi."
Na. Perempuan itu, hanya diam. Telinganya seolah tidak mendengar perkataan suaminya. Pandangannya tetap lurus tertuju pada laut luas.
Laki-laki jangkung berkumis tipis itu tidak putus asa. Ia terus saja memohon sampai bibirnya lelah dan matanya mengeluarkan bulir-bulir air.
***
Sebenarnya apa yang telah terjadi pada pasangan yang baru menikah seumur jagung itu? Mengapa si suami merengek-rengek seperti bocah sementara istrinya diam seribu bahasa?
Ini tentang komitmen menaati sebuah kesepakatan.
Ya. Sebelum menerima pinangan laki-laki jangkung berkumis tipis itu, Na pernah mengajukan satu permintaan. Bahwa apapun keanehan yang kelak terjadi atau dilihat oleh laki-laki itu setelah menikahinya, jangan sesekali dikritik. Apalagi dikait-kaitkan dengan masa lalunya.
Dan, laki-laki jangkung berkumis tipis itu menyanggupi.
***
Di awal-awal pernikahan, komitmen laki-laki jangkung berkumis tipis melengkung itu benar-benar diuji. Sehari setelah menikah, Na sudah memperlihatkan tingkah aneh yang membuatnya nyaris melontarkan kritikan.
Bayangkan. Di malam pertama mereka, Na diam-diam meninggalkannya sendirian di atas ranjang. Istrinya itu memilih berendam di bak kamar mandi hingga berjam-jam lamanya.
Bukan hanya itu. Esoknya, saat bangun tidur laki-laki berkumis tipis itu dibuat terpana. Suasana rumah tampak sudah dirombak total. Akuarium besar yang selama ini menjadi pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah, tidak dilihatnya lagi. Benda kesayangannya itu raib beserta isinya sekalian.
"Aku yang melakukannya. Akuarium itu sama sekali tidak bermanfaat bagi kehidupan kita. Benda itu sudah kubuang ke tempat sampah. Dan, ikan-ikan di dalamnya sudah aku kembalikan ke laut."
Na menjelaskan dengan mimik datar, tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Laki-laki jangkung berkumis tipis itu nyaris naik pitam. Tapi kemudian ia teringat pada kesepakatan sebelum menikahi istrinya itu. Dan itu, membuatnya tak berkutik.
Sejak saat itu, hari-hari laki-laki jangkung berkumis tipis model cemeti itu dipenuhi oleh beragam ketidakwajaran. Semisal, ia harus rela isi kulkas --- yang selama ini didominasi jenis ikan laut kesukaannya, berganti dengan sayuran dan buah-buahan yang menggunung.
"Mulai sekarang tidak boleh ada menu ikan - apa pun tersaji di atas meja. Lagi pula sayur dan buah jauh lebih baik untuk kesehatanmu."
Begitu alasan Na saat melihat mata suaminya sedikit terpicing.
***
Ini memasuki bulan ketiga usia pernikahan mereka. Laki-laki jangkung berkumis tipis itu sebenarnya sudah mulai terbiasa dengan kehidupan baru yang dijalaninya. Ia bisa menerima segala keanehan dan kejanggalan yang ditunjukkan oleh istrinya yang cantik itu, istri yang memiliki bola mata besar yang membuatnya selalu jatuh cinta setiap kali menatapnya.
Sampai suatu hari.
Serombongan tamu datang dari kota. Mereka keluarga besar dari laki-laki jangkung berkumis tipis itu. Tamu-tamu itu sedang menikmati liburan musim panas dan sepakat hendak menginap di rumah pengantin baru yang berada di pesisir pantai.
Tentu saja laki-laki jangkung berkumis tipis itu merasa sangat senang. Ia menyambut kedatangan keluarga besarnya dengan antusias, dan meminta kepada istrinya untuk menjamu mereka dengan sebaik mungkin.
Senja itu pesta kecil digelar di halaman rumah yang menghadap langsung ke arah bentang laut. Beraneka ragam olahan makanan dihidangkan sebagai jamuan. Kecuali makanan yang berasal dari jenis ikan-ikanan.
Pesta berlangsung sangat meriah dan menyenangkan. Semua tamu tampak puas usai menyantap hidangan yang tersaji di atas meja. Kecuali satu orang tamu, sepupu dari laki-laki jangkung berkumis tipis itu yang tiba-tiba saja menyelutuk. "Dari sekian banyak hidangan, kenapa tidak ada lalapan ikan bakar, cumi oseng, atau sejenisnya?"
Menanggapi celutukan sepupunya itu, si laki-laki jangkung berkumis tipis tanpa sadar menyahut spontan. "Mana mungkin aku tega menyuguhkan makanan yang berasal dari asal usul istriku sendiri?"
Sontak seluruh tamu menatap aneh ke arah Na yang berdiri di samping suaminya. Jantung Na mendadak berdegup kencang. Wajahnya terasa panas. Tanpa menoleh lagi perempuan itu berlari masuk ke dalam rumah dan mengurung diri di dalam kamar.
Sesaat laki-laki jangkung berkumis tipis model cemeti itu tertegun. Ia sadar telah melakukan kesalahan besar. Amat besar. Ia telah melanggar perjanjian yang telah disepakati.
Segera disusulnya sang istri yang masih duduk mematung dekat jendela di dalam kamar. Dengan suara memelas ia memohon agar istrinya itu sudi memaafkannya dan memberinya satu kesempatan lagi.
"Selalu ada kesempatan kedua di dunia ini. Tapi tentu saja dalam bentuk dan kondisi yang berbeda."Â
Na akhirnya bersuara.
Bersamaan dengan itu terdengar deru angin melintas begitu dahsyat disertai kemunculan seorang nenek bertopi ungu runcing, berhidung bengkok. Tubuh nenek itu meliuk-liuk di udara seraya mengendarai sapu terbang.
"Suamiku, penyihir itu sudah datang menjemputku. Waktunya aku kembali ke bentuk semula seperti sebelum bertemu denganmu; seekor ikan. Dan kau sendiri, sesuai dengan keinginanmu akan segera mendapatkan kesempatan kedua."
***
Suatu hari.
Di sebuah pasar pagi, seorang bocah berseru kegirangan ketika melihat seekor ikan lele menggelepar-gelepar di dalam ember yang berada tepat di bawah lapak penjual ikan. Sementara ibunya sibuk memilih ikan tuna yang bola matanya bagus dan tampak masih segar.
"Bungkus ikan tuna yang ini, ya, Bang. Sekalian lele berkumis melengkung itu. Tampaknya anakku sangat menyukainya."
***
Malang, 19 Oktober 2022
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H