Para biyada sudah selesai menyiapkan tumpeng robyong, lalu menggotongnya beramai-ramai dan meletakkannya di atas meja berukuran besar.
Aku sendiri sibuk menata ubarampe untuk prosesi temu panggih yang sebentar lagi akan kugelar.
Sementara di pojokan sana, di dekat pilar terop sebelah kanan berdiri dua gadis pendamping mempelai wanita. Kedua gadis itu --- kami menyebutnya putri domas, memakai kebaya brokat warna hijau muda dipadu padan jarik corak parang kusuma. Sanggul cepol berhias ronce kembang melati semakin mempercantik penampilan mereka.
Tapi, tunggu! Ada sesuatu yang agak janggal. Bagaimana mungkin Siska --- asistenku itu mampu menyelesaikan pekerjaannya begitu cepat? Masa iya, ia mampu merias dua putri domas sekaligus dalam waktu tidak sampai sepuluh menit?
"Rombongan pengantin pria sedang dalam perjalanan!" Seruan itu membuatku melupakan sejenak pertanyaan yang melintas di kepala. Tanganku sibuk menggelar tikar kecil di atas lantai, lalu meletakkan sebuah belanga perak berisi air rendaman bunga setaman.
"Nanti, begitu iring-iringan pengantin pria memasuki halaman, tolong siapkan gending lancaran Kebo Giro-nya, ya." Ujarku pada seorang pemuda yang duduk bersila menjaga sound system. Tidak ada sahutan. Pemuda itu hanya mengangguk kecil.
Jarum jam menunjuk pada angka 4 kurang sedikit. Saatnya menjemput pengantin wanita yang sedari tadi duduk anggun di atas pelaminan. Aku membimbingnya turun dan memandunya menuju tikar yang sudah kugelar.
Dari jauh iring-iringan pengantin pria mulai terlihat. Sesuai perintahku gending lancaran Kebo Giro pun mulai diperdengarkan. Iramanya mengalun merdu, mendayu-dayu menebar suasana haru.
Saatnya memberi perintah pada kedua putri domas yang masih berdiri di pojokan terop agar mereka bersiap-siap bertukar kembar mayang.
"Nduk, kalian berdua, mendekatlah!" Seruku seraya mengangkat satu tangan. Dua putri domas pun berjalan tertatih menujuku.
Tertatih? Ya, benar. Tertatih. Begitulah yang kulihat. Mereka --- dua putri domas itu berjalan dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Penampakan aneh itu tentu saja membuatku terperangah, sekaligus mundur beberapa langkah.
Huft. Apakah ada yang salah pada penglihatanku? Mengapa dua putri domas yang semula tampil menawan tiba-tiba menjelma menjadi nenek-nenek renta?
Sontak aku beralih pandang, menengok ke arah pengantin wanita yang berdiri anggun di sebelahku. Memastikan jikalau penglihatanku baik-baik saja.
Tapi, sekali lagi aku terperangah.
Pengantin cantik yang telah kurias berjam-jam itu pun ikut beralih rupa. Sosoknya berubah amat mengerikan. Wajahnya dipenuhi luka dengan darah meleleh keluar dari kedua bola matanya.
Sementara iring-iringan pengantin pria berjalan semakin dekat. Gending Kebo Giro --- oh, tidak, gending itu pun ikut berubah bunyi. Iramanya tak lagi lembut mendayu-dayu, melainkan berganti dengan lancaran yang membuat bulu kuduk berdiri.Â
Tembang Lingsir Wengi.
Aku bergidik.
Apakah aku sedang bermimpi, atau tengah mengalami semacam halusinasi?
Tiba-tiba aku teringat seseorang. Siska! Ya, Siska. Hanya dia satu-satunya yang bisa menjelaskan semua kejadian aneh ini.
Mataku sontak menyapu sekeliling, mencari-cari keberadaan asistenku itu. Tapi hingga tembang Lingsir Wengi berputar ulang tak juga kutemukan dia.Â
Atau --- barangkali Siska masih berkutat dengan pekerjaannya di dalam kamar?
Setengah berlari aku menghambur menuju kamar pengantin di mana terakhir kali aku melihat Siska.
"Sis!" Seruku seraya mendorong daun pintu.
"Sis-ka...?" Langkahku terhenti di ambang pintu. Bibirku mendadak terkatup rapat.
Di dalam kamar pengantin yang lampunya terang benderang, kulihat Siska tengah asyik merias seseorang.
Dan, seseorang yang diriasnya itu adalah --- aku!
***
Di sebuah tempat di pinggiran kota.
Lelaki itu melipat kertas koran di tangannya. Pandangannya masih tertuju pada setumpukan batu bata yang teronggok tak beraturan di samping sebuah bangunan tua yang lama dibiarkan kosong.
"Hh, untuk apa kauceritakan kembali kisah rumit ini padaku? Asal kautahu, otakku tidak secerdas dua puluh tahun silam. Aku juga sudah memutuskan untuk pensiun dari pekerjaanku." Lelaki itu bergumam jengkel.
"Please, bantu aku! Aku tidak akan tenang --- maksudku, sebelum kejadian aneh itu terpecahkan."
Lelaki itu mendesah panjang. Jemarinya bergerak pelan, membuka kembali gulungan koran yang tampak kusut.
"Kisahmu sudah resmi kututup."
"Sekali lagi, tolong. Beritahu aku...."
Lelaki itu tidak menyahut. Ponselnya berdering. Buru-buru ia mengangkat benda berbentuk pipih itu lalu bicara dengan seseorang.
"Oke, Siska. Aku akan segera pulang. Apa?! Abaikan saja gangguan-gangguan aneh di dalam loteng bekas ruang kerjaku itu."
Klik. Lelaki itu menutup ponsel dan memasukkannya ke dalam saku jaket. Â Kemudian tanpa menoleh ia berlalu meninggalkankan area bangunan tua.
"Tunggu! Kau harus menyelesaikan semua ini!"
Tapi lelaki itu seolah tidak mendengar. Atau pura--pura tidak mendengar. Kakinya terus saja berjalan menuju arah pulang.
Aku tergugu.
Ini permintaanku yang kesekian kali pada lelaki berambut gondrong itu. Permintaan yang menurutku sangat sederhana; agar ia menyelesaikan ending cerpen horor yang dua puluh tahun silam pernah ditulisnya.
Ya. Sebagai tokoh sentral --- sang perias, aku berhak mengetahui kejelasan nasibku, bukan?
***
Malang, 24 Juni 2022
Lilik Fatimah Azzahra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H