Sejenak suasana hening.
Nyai Denik mengumpulkan kartu ceki yang berserakan di atas meja, memasukkannya kembali ke dalam kotak kecil berukir yang terbuat dari kayu mahoni.
"Nyai, apa tidak ada cara lain selain minta maaf? Terus terang aku enggan mengemis-ngemis di hadapan lelaki hidung belang itu." Sun memberanikan diri menatap mata Nyai Denik.
"Tentu saja ada!"
"Apa Itu, Nyai?"
"Putrimu yang cantik ini harus diruwat di danau, tepat di hari pasaran kelahirannya!"
***
Pagi itu Arum melirik kalender yang terpampang pada dinding kamar. Keningnya seketika berkerut.
Astaga, hari ini Selasa Kliwon! Hari weton kelahirannya.
Diam-diam ia berharap semoga ibunya tidak ingat saran yang telah diwejangkan oleh Nyai Denik, minggu lalu, tentang ruwatan di danau itu.
Tapi sayang Sun belumlah pikun. Perempuan paruh baya itu bahkan tidak bisa berhenti memikirkan ucapan Nyai Denik. Ia ingin segera melakukannya.
Ubarampe untuk ruwatan yang menurut Nyai Denik bisa menangkal teluh gantung jodoh itu, jauh-jauh hari telah pula disiapkannya.