Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pemintal Kisah

4 Juni 2022   06:27 Diperbarui: 4 Juni 2022   06:29 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://focusedcollection.com/323354548/stock-photo-little-boy-curly-hair-smiling.html


Haris, bocah laki-laki berusia tiga belas tahun dengan rambut ikal dan berlesung pipi menawan itu saat mengikuti kelas malam ditanya oleh guru pembimbingnya, "Apa cita-citamu, Nak?"

Haris menjawab lantang . "Saya ingin menjadi pemintal kisah!"

Sontak seisi kelas riuh. Sebagian siswa bahkan menertawakannya, menganggap apa yang dikatakan Haris adalah hal yang bodoh. 

Ya. Mereka berpikir menjadi pemintal kisah adalah pekerjaan tidak lazim, cenderung menentang adat leluhur.

Tapi guru pembimbing --- seorang pria bijak berumur empat puluh tahun yang memiliki kumis melingkar seperti jamur dibelah dua itu, menanggapi cita-cita Haris dengan antusias.

"Kau bisa berlatih mewujudkan cita-citamu dari sekarang, Nak!"

Haris sontak berdiri, memberi hormat dengan menganggukkan kepala. Wajah manisnya tampak berseri-seri.

"Siap, Pak guru! Mulai malam ini saya akan belajar memintal kisah."

Dan, Haris benar-benar menepati janjinya. Ketika teman-teman sekelasnya menghabiskan waktu istirahat dengan bergerombol di sudut-sudut kelas, Haris memilih duduk menyendiri di bangku panjang yang berada tepat di depan ruang kelasnya. Bibirnya tak henti tersenyum.

Hm. Pemintal kisah, ya? Kedengarannya keren. Tapi, ia musti memulai dari mana?

Pandangan Haris perlahan menyapu sekeliling. Dan, berhenti pada sederet benda paling familiar yang setiap hari ditemuinya di ruang lingkup sekolah ini.

Pintu!

Yup. Haris sudah menentukan 'Pintu' sebagai sumber ide pintalannya. Lantas demi menghindari agar sumber ide tidak kabur Haris menuliskannya pada secarik kertas.

Di bawah kata 'Pintu', Haris menambahkan catatan pendek seperti ini: ukuran pintu 90×220 sentimeter. Kusennya terbuat dari kayu kamfer.

Dari catatan pendek tersebut Haris ingin mengembangkannya menjadi paragraf.

Haris terdiam beberapa saat. Berusaha mengingat-ingat cara paling mudah mengembangkan paragraf.

Yes! Untuk memudahkan mengembangkan paragraf, kenapa tidak menggunakan metode Rudyard Kipling; 5W 1H yang pernah diajarkan oleh Pak guru?

Hm. Kata tanya 'mengapa' sontak mendominasi isi kepalanya. Dan itu berarti ia harus menyiapkan 'karena' sebagai konjungsi kasualitas.

Oke  Haris segera memulai.

Paragraf pertama.

Mengapa pintu kelas dibuat ukuran 90×220 sentimeter? Itu karena sudah disesuaikan dengan standar kelaziman pintu rumah masyarakat di pemukiman ini.

Selanjutnya, pengembangan paragraf kedua.

Mengapa kusen pintu terbuat dari kayu kamfer? Karena kayu kamfer mudah didapat, harganya terjangkau, dan kualitasnya bagus.

Waah, dalam sekian menit Haris sudah berhasil memintal dua paragraf lumayan panjang.

Tapi, mendadak Haris menghentikan gerakan jemarinya. Sesaat pandangannya terlihat ragu.

"Ada apa, Nak?" Pak guru yang kebetulan melintas di depan kelas menegurnya.

"Ini, Pak guru. Pintalan kisah saya --- macet!" Haris berterus terang.

"Oh, itu hal biasa. Setiap pemintal kisah pernah mengalaminya. Nama keren dari kemacetan itu writer block."

"Begitu, ya. Lantas saya harus bagaimana menghadapi writer block ini?"

"Tinggalkan kegiatan memintalmu, Nak. Jangan memaksakan diri. Bermain-mainlah sejenak bersama teman--temanmu." Pak guru yang bijak itu memberi nasihat. Dan, Haris tak ingin mengabaikan nasihat itu.

***
Sekitar lima belas menit membaur bersama teman--temannya, otak Haris kembali segar. Ia ingin melanjutkan memintal kisah yang masih jauh dari kata tuntas.

Ia kembali duduk ke bangkunya semula. Mengeluarkan secarik kertas berisi coretan yang telah ia buat, lalu meneliti ulang barangkali ada kalimat yang tidak efektif alias bertele-tele.

Sudah sampai mana tadi? Oh, ya. Sudah sampai paragraf kedua.

Aih, sayang sekali bel sekolah sudah berbunyi, nyaring, memberi tanda pada para siswa untuk segera meninggalkan sekolah.

Haris pun beranjak, berniat masuk ke ruang kelas untuk mengemasi peralatan yang tercecer di atas meja. 

Tapi malang. Saat melintasi ambang pintu kakinya teranruk sesuatu. Haris jatuh terjerembab. Siku tangannya lecet dan berdarah.

Guru pembimbing yang --- lagi-lagi sedang melintas di depan kelas, buru-buru menolongnya.

Pria berkumis seperti jamur dibelah dua itu sigap membimbing tubuh Haris seraya berbisik, "Ayo, Nak. Kita harus segera meninggalkan ruang kelas ini."

***

Di bawah pohon Akasia yang daunnya dibiarkan merimbun, guru pembimbing yang baik hati itu membersihkan luka-luka Haris menggunakan kapas dan cairan antiseptik.

"Ingat pesan ini, Nak. Saat melewati pintu kelas tidak boleh bertindak ceroboh. Karena bisa saja kita bertabrakan dengan sesuatu atau --- kepergok mereka." Pak guru menunjuk ke arah serombongan siswa berseragam putih biru yang berjalan beriringan di sepanjang koridor.

Haris mengangguk.

Ah. Kiranya hari sudah pagi. Waktunya para makhluk tak kasat mata seperti dirinya, berangkat tidur.

***
Malang, 4 Juni 2022
Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun