Lebaran tinggal menghitung hari. Seperti para perantau lain, Diman juga ingin pulang. Menjenguk kampung halaman yang sudah sekian tahun ditinggalkannya.
Hm. Apa kabar ayah yang sering mengomelinya saat ia mangkir mengaji dari rumah Wak Haji Rokhim?
Apa kabar ibu yang kerap membelanya jika ia sedang dimarahi ayah?
Apa kabar Sukesi kecil, adik satu-satunya yang suka diam-diam membantunya mengompres memar di sekujur tubuh akibat lecutan pelepah daun pisang hadiah dari ayah karena kenakalannya?
Sungguh. Ia rindu suasana rumah. Rindu omelan ayah, elusan lembut tangan ibu, juga senyum manis adik bungsunya yang imut dan lucu itu.
"Sebentar lagi azan Magrib tiba, Man. Kita minggir dulu, yuk!" Seruan Azis membuat lamunannya tentang rumah seketika buyar. Ia gegas menepi ke trotoar jalan.
"Petang ini kita gabung sholat di masjid itu lagi, ya. Di sana tersedia banyak takjil." Azis terkekeh kecil. Diman tidak menyahut. Tangannya sibuk melepas resleting baju badut yang seharian dikenakannya.
Sadar kata-katanya tidak mendapat respon, Azis menatap Diman dengan kening berkerut.
"Kau kenapa, Man? Dari tadi kok murung terus?"
"Aku ingin pulang kampung, Zis. Kangen rumah. Tapi masalahnya, mm, aku tidak pegang uang."
Kali ini Azis ikut terdiam.