Salah seorang teman yang berjaga di apotek bertanya, jelang hari pertama memasuki bulan Ramadan.
"Insya Allah puasa, Mbak "
"Oke. Selamat menunaikan ibadah puasa ya, Bu. Semoga lancar."Â
"Amiin. Terima kasih, Mbak. Untuk sementara makan siang bareng-barengnya libur dulu, yaa."Â
Yup. Di klinik tempat saya bekerja, saya adalah satu-satunya pegawai yang beragama Islam. Pegawai lain, termasuk dokter dan tukang kebun, semua beragama non muslim.
Namun demikian kami sama sekali tidak pernah mempermasalahkan perbedaan yang ada. Bahkan tanpa disadari kami sudah menerapkan secara langsung apa itu yang disebut dengan toleransi beragama.
Bukan hanya di lingkungan kerja, di kampung pun, rumah saya berhadapan dengan beberapa tetangga yang beragama Nasrani. Tapi sejauh ini hubungan silaturahmi di antara kami sebagai tetangga terjalin baik-baik saja. Rukun-rukun mawon tanpa pernah ada masalah.
Kisah Indah Toleransi Beragama
Berteman atau bersahabat tidak harus memandang segi agama, bukan? Yang penting klik, nyambung kalau diajak ngobrol, cocok, dan sehati.
Demikian juga dengan yang saya alami.
Saya memiliki seorang sahabat yang berbeda keyakinan. Dan kami menjalani persahabatan itu sudah bertahun-tahun lamanya. Sejak kami dipertemukan secara tidak sengaja oleh Kompasiana.
Ya. Dari menulis di Kompasiana-lah kami saling mengenal.
Awal mengetahui dia (sahabat saya itu) beragama Nasrani, terjadi saat kami akan bertemu di suatu tempat untuk membahas kegiatan seputar dunia literasi. Kebetulan kami tinggal di kota yang sama.
"Mbak Lilik, nanti ketemunya agak siangan, yaa. Aku harus pergi ke gereja dulu."
Demikian suatu hari dia menelpon saya.
"Oh, oke say. Siap!"
Hm. Apakah saya saat itu terkejut atau menyesal setelah mengetahui teman saya itu berbeda keyakinan? Tentu saja tidak. Saya justru excited dan berpikir, "Inilah saat yang tepat untuk belajar menerapkan hidup bertoleransi. Menguji sejauh mana sikap saling menghargai dan menghormati itu ada dalam diri saya."
Bersyukur kami bisa melewati persahabatan itu dengan baik. Kami menjalani setiap pertemuan dengan enjoy. Membicarakan hal-hal yang menyenangkan tanpa sedikit pun mengusik atau menyinggung perihal perbedaan agama kami.
Ya. Kami saling support satu sama lain. Semisal saat sedang jalan-jalan di sebuah mall, tiba-tiba terdengar azan Magrib berkumandang, sontak sahabat saya mempersilakan saya sholat terlebih dulu. Bahkan dia rela mengantar dan menunggu di depan musholla tanpa rasa jengah sedikit pun.
Demikian pula sebaliknya, saat dia pamit untuk menjalankan ibadahnya terlebih dulu di gereja sebelum kami bertemu, tentu saja saya tidak keberatan.
Setiap agama dan kepercayaan pasti mengajarkan perbuatan baik kepada umatnya. Salah satunya adalah berperilaku toleransi terhadap sesama.
Tidak satu pun dari agama dan kepercayaan yang tumbuh di negeri tercinta ini mengajarkan hal-hal buruk. Misalnya saling membenci, mencaci, menjatuhkan, atau menyakiti.
Oh, ya. Soal toleransi beragama ini negara kita sudah mengaturnya di dalam Undang-Undang Dasar 1945.Â
Masih ingatkan, pasal berapa itu?
Yup, betul. Pasal 29 ayat 2.
Bunyinya?
Apa?! Sudah lupa? Baiklah. Saya kutipkan di sini, yaa.
"Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Bagaimana? Kalau masih ada orang atau kelompok yang sengaja bersikap intoleransi dalam beragama sehingga menimbulkan kericuhan atau perpecahan di sana-sini, mari kita gegas menyingkir. Sebab kita bukan termasuk ke dalam golongan orang-orang itu.
Ingat. Negeri yang damai adalah negeri yang masyarakatnya berbeda tapi saling menghargai perbedaan itu.Â
Bagaimanapun juga damai itu jauh lebih indah.
Selamat menjalankan ibadah puasa. Semoga puasa hari ini ibadah kita beroleh berkah.
Amiin.
***
Malang, 17 April 2022
Lilik Fatimah Azzahra
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI