Saya memiliki seorang sahabat yang berbeda keyakinan. Dan kami menjalani persahabatan itu sudah bertahun-tahun lamanya. Sejak kami dipertemukan secara tidak sengaja oleh Kompasiana.
Ya. Dari menulis di Kompasiana-lah kami saling mengenal.
Awal mengetahui dia (sahabat saya itu) beragama Nasrani, terjadi saat kami akan bertemu di suatu tempat untuk membahas kegiatan seputar dunia literasi. Kebetulan kami tinggal di kota yang sama.
"Mbak Lilik, nanti ketemunya agak siangan, yaa. Aku harus pergi ke gereja dulu."
Demikian suatu hari dia menelpon saya.
"Oh, oke say. Siap!"
Hm. Apakah saya saat itu terkejut atau menyesal setelah mengetahui teman saya itu berbeda keyakinan? Tentu saja tidak. Saya justru excited dan berpikir, "Inilah saat yang tepat untuk belajar menerapkan hidup bertoleransi. Menguji sejauh mana sikap saling menghargai dan menghormati itu ada dalam diri saya."
Bersyukur kami bisa melewati persahabatan itu dengan baik. Kami menjalani setiap pertemuan dengan enjoy. Membicarakan hal-hal yang menyenangkan tanpa sedikit pun mengusik atau menyinggung perihal perbedaan agama kami.
Ya. Kami saling support satu sama lain. Semisal saat sedang jalan-jalan di sebuah mall, tiba-tiba terdengar azan Magrib berkumandang, sontak sahabat saya mempersilakan saya sholat terlebih dulu. Bahkan dia rela mengantar dan menunggu di depan musholla tanpa rasa jengah sedikit pun.
Demikian pula sebaliknya, saat dia pamit untuk menjalankan ibadahnya terlebih dulu di gereja sebelum kami bertemu, tentu saja saya tidak keberatan.