Mataku baru terbuka ketika terdengar seseorang bicara dengan suara cukup keras.
"Sudahlah, Nak. Jangan sedih. Mama akan membelikanmu seekor anjing lagi. Yang lebih bagus!"
"Tapi, Ma ... Anet itu anjing paling pintar yang pernah kumiliki. Andai saja pria bertubuh kurus itu tidak menabraknya...."
Terdengar isakan disertai tarikan ingus berkali-kali.
Gegas aku bangkit. Menepis rerumputan yang menempel pada ujung gaun putihku.
Tampak dua orang berbeda usia tengah duduk berselonjor di teras taman, tak jauh dari tempatku berdiri.
"Aku benci pria kurus itu, Ma. Benci sekali! Ia menabrak lari Anet tanpa mau bertanggung jawab." Si bocah masih bertahan dengan air matanya.
"Ya, Mama paham  Tapi Anet kan sudah mati. Ia tidak mungkin hidup lagi. Lagi pula pria kurus itu tidak bakal tenang selama hidupnya. Seseorang yang menabrak hewan piaran tanpa bertanggung jawab pasti akan mendapat kesialan."
Sontak isakan bocah itu terhenti. Sang ibu mengelus kepala anaknya sejenak. Lalu membimbingnya berdiri.
"Yuk, kita pulang!"
***