Aku langsung jatuh hati begitu melihat anjing lucu itu, suatu pagi, di bundaran sebuah taman.
Sungguh. Ia anjing kecil yang sangat cantik dengan bulu coklat licin dan mengilat. Mengingatkanku pada karpet yang menghiasi ruang tamu.
"Karpet ini bisa menjatuhkan ibuku kalau kaupasang di sini, Aura!" tegur Sam, suamiku, saat pertama kali aku menggelar benda berbulu lembut itu. Tapi aku mengabaikan teguran Sam. Aku tahu Sam terlalu sibuk untuk mengulang kembali kata-katanya.
Mataku masih belum beralih dari anjing kecil yang melompat-lompat lincah mengitari bundaran taman yang tidak terlalu luas itu.
Seorang pria bertubuh kurus, mengenakan t-shirt putih dan celana pendek abu-abu, erat memegang tali kekang yang melingkar pada leher anjing itu. Ia ikut berlari-lari kecil di belakangnya.
Di putaran ketiga, entah apa yang menyebabkan anjing lucu itu berhenti berlari disertai gonggongan nyaring.
"Anet! Jangan berisik!" Pria kurus berseru mengingatkan. Tapi anjing lucu yang dipanggil Anet itu seolah tidak mendengar. Ia terus saja menggonggong dengan suara keras dan tubuh berguncang-guncang.
"Hush, hush, tenang Anet. Tenanglah. Mengapa tiba-tiba kau sepanik ini? Apakah kau --- melihat sesuatu?" Pria kurus itu berjongkok seraya mengelus lembut punggung Anet. Pada elusan kesekian mendadak pria kurus itu menoleh ke arahku.
"Oh, kau rupanya! Pergilah! Jangan ganggu kami!"
Seketika wajahku berubah memerah padam.