"Ken! Aku lelah menjadi matahari!" Seruku. Membuat laki-laki bernama Ken itu mengernyit dahi. Sebelum kemudian bibirnya yang manis mengukir senyum.
"Kalau lelah jadi matahari, jadi lampu taman saja." Ia menyahut ringan. Sementara matanya tak beralih, tetap tertuju pada layar laptop di hadapannya.
"Ken, aku serius!" Aku mengganggunya lagi. Ken menghentikan gerakan jemarinya sejenak, meraih tisu, lalu menatapku tak berkedip.
Sekarang aku yang tersenyum. Merasa berada di atas angin.
"Kau lebih mencintai pekerjaanmu daripada aku, Ken. Padahal saat kita menikah di hadapan penghulu dulu, kau pernah berjanji..."
"Tentu aku juga menyayangimu, Nis. Kau saja yang kurang peka." Ken berdiri, meraih pundakku. Beberapa detik kemudian ujung bibirnya yang kering singgah di dahiku yang berponi.
Cup!
Hanya itu.
***
Memiliki suami seorang penulis seperti Ken jangan harap punya kesempatan duduk berdua berlama-lama di beranda. Apalagi Ken sangat mencintai pekerjaannya lebih dari apa pun. Menulis baginya adalah bagian dari dirinya yang tak terpisahkan.
Jadi kapan kami punya waktu untuk mengobrol panjang, minum teh, atau sekadar menatap langit senja tanpa diricuhi ide-ide yang tak pernah kering di kepalanya? Hampir tak ada waktu!
Bahkan saat tidur berdampingan di ranjang pun, Ken diam-diam sering meninggalkanku. Ia memilih membuka layar laptopnya ketimbang menyibak gaun tidurku yang transparan.