Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Pengalaman Mistis ketika Menjadi Perias Pengantin

4 November 2021   06:49 Diperbarui: 5 Agustus 2024   20:47 2862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perias pengantin. (Sumber Foto: unsplash.com/@bukphak)

Profesi sebagai juru rias pengantin sudah saya jalani selama puluhan tahun, sejak anak-anak masih kecil. Dan, bertemu dengan hal-hal berbau mistis bagi saya sudah biasa.

Bertemu hal-hal berbau mistis? 

Iya. Sebagai contoh; setiap kali ada yang berniat menggunakan jasa tata rias saya, beberapa hari sebelumnya saya pasti mencium aroma wangi kembang melati yang sangat tajam.

Aroma wangi itu terus mengikuti kemana pun saya pergi. Ke dapur, ke kamar mandi, ke warung, bahkan sampai ke tempat tidur.

Anehnya pula, hanya saya saja yang mencium aroma wangi itu. Anak-anak di dalam rumah ketika saya tanya apakah mereka juga mencium aroma seperti yang saya hidu, mereka serempak menggeleleng kepala.

Uniknya, aroma melati itu baru menghilang jika saya sudah berkata begini, "Ya, wis. Sembah nuwun untuk pemberitahuannya."

Benarlah. Selang tiga hari kemudian datang satu dua orang tamu yang menyampaikan keinginan untuk memakai jasa tata rias saya.

Saat pertama kali diikuti aroma wangi melati yang harumnya luar biasa itu, yang datangnya entah dari mana, saya sempat merasa takut. Bulu kuduk merinding. Tapi kemudian saya menyadari bahwa di dunia ini diciptakan pula makhluk lain yang tak kasat mata yang memiliki kehidupan sama seperti kita.

Berpikir demikian perlahan-lahan rasa takut saya mulai menghilang

Saya bersyukur sejauh ini 'makhluk yang suka menebarkan aroma wangi' itu tidak pernah mengganggu atau bersikap jahil kepada saya maupun kepada anak-anak. Bahkan terkesan membantu dengan cara mereka sendiri.

***
Pada kisah lain. 

Suatu malam saya harus pergi ke pasar bunga mengambil pesanan rangkaian melati untuk prosesi panggih esok hari. Di pasar bunga inilah saya mengalami kejadian aneh.

Hari sudah sangat larut. Suasana pasar bunga tampak sepi dan mamring. Beberapa pedagang menunggui bedak mereka dengan mata terkantuk-kantuk.

Saya gegas mendatangi penjual bunga yang menjadi langganan, menanyakan melati pesanan apakah sudah rampung. 

Sayangnya pesanan saya belum selesai. Menurut penjual bunga langganan saya itu, keberadaan melati sedang langka. Kalau pun ada, tersisa melati kuncup yang sudah layu dan harganya mahal minta ampun.

Bagaimana ini? Menunggu sampai besok jelas tidak mungkin. Wong prosesi panggih dilaksanakan pagi hari.

Saat berdiri kebingungan itulah mendadak ada bapak-bapak tua di salah satu bedak paling ujung melambaikan tangan ke arah saya. Saya pun gegas menghampiri.

Ndilalah si bapak tua itu menawarkan roncean melati kepada saya. Tentu saja saya menyambut gembira. Apalagi harga yang dipatok oleh si bapak sangat murah. Saya bahkan nyaris tidak percaya ketika beliau menyebutkan nilai nominalnya.

Senangnya lagi saat saya periksa roncean melati garapan si bapak sangat rapi dan halus. Melatinya juga melati pilihan. Masih segar dan mekar begitu indah.

Sembari mengeluarkan isi dompet iseng saya bertanya siapa nama bapak tua itu. Beliau menjawab, "Namaku Darto. Panggil saja Pak Darto."

Dua hari usai merias pengantin saya kembali ke pasar bunga untuk membeli ubarampe guna prosesi ngunduh mantu. Kali ini saya datang tidak terlalu malam.

Begitu sampai di pasar bunga mata saya sibuk mencari-cari. Siapa tahu bertemu Bapak Darto yang baik hati itu.

"Mencari siapa, Mbak?" Tegur seorang ibu saat melihat saya celingukan di depan bedak paling ujung. Bedak itu tampak kosong. Lampunya padam. Tidak ada gelaran bunga seperti bedak-bedak yang lain.

"Pak Darto libur, nggih, Bu?" Saya bertanya balik. Si ibu sontak memasang mimik kaget. Lalu dengan suara pelan si ibu menjawab, "Pak Darto? Orang itu sudah lama meninggal Mbak. Kecelakaan mobil."

Deg.

Saya mundur beberapa langkah. Kemudian gegas menuju bedak si ibu sembari memilih-milih sesuatu untuk menylimurkan keterkejutan hati saya.

***
Di lain waktu pernah pula saya merias seorang gadis yang tak henti menatap wajah saya dengan pandang kosong. Mulai dari awal hingga proses merias berakhir. Entah apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Seolah hendak menyampaikan sesuatu dan sulit mengatakannya.

Kejanggalan selanjutnya terjadi saat sesi pengambilan foto. Meski make up yang saya sapukan agak gonjreng, begitu hasil foto diteliti, yang terlihat wajah seorang gadis dengan muka pucat. Seperti tanpa riasan.

Berkali pengambilan gambar diulang oleh anak saya, tetap saja yang tertangkap kamera sesosok gadis berwajah pucat.

Hati saya mulai tidak enak. Dan, firasat kian menguat ketika tanpa sengaja saya menemukan sekuntum bunga anyelir putih di dalam botol kecil berisi air yang disembunyikan di balik pintu.

"Itu bunga kesukaan saya, Bu. Saya yang meletakkannya di situ." Ujar si calon pengantin begitu melihat saya mengamankan bunga di dalam botol itu agar tidak pecah.

Kala itu saya hanya mengangguk. Tapi sempat membatin juga. Mengapa ia memilih bunga anyelir? Bukankah anyelir adalah lambang duka cita?

Entah kebetulan atau apa, selang dua minggu kemudian saya mendapat kabar bahwa di gadis yang saya rias itu meninggal dunia.

***
Malang, 04 November 2021
Lilik Fatimah Azzahra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun