Begitu sampai di pasar bunga mata saya sibuk mencari-cari. Siapa tahu bertemu Bapak Darto yang baik hati itu.
"Mencari siapa, Mbak?" Tegur seorang ibu saat melihat saya celingukan di depan bedak paling ujung. Bedak itu tampak kosong. Lampunya padam. Tidak ada gelaran bunga seperti bedak-bedak yang lain.
"Pak Darto libur, nggih, Bu?" Saya bertanya balik. Si ibu sontak memasang mimik kaget. Lalu dengan suara pelan si ibu menjawab, "Pak Darto? Orang itu sudah lama meninggal Mbak. Kecelakaan mobil."
Deg.
Saya mundur beberapa langkah. Kemudian gegas menuju bedak si ibu sembari memilih-milih sesuatu untuk menylimurkan keterkejutan hati saya.
***
Di lain waktu pernah pula saya merias seorang gadis yang tak henti menatap wajah saya dengan pandang kosong. Mulai dari awal hingga proses merias berakhir. Entah apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Seolah hendak menyampaikan sesuatu dan sulit mengatakannya.
Kejanggalan selanjutnya terjadi saat sesi pengambilan foto. Meski make up yang saya sapukan agak gonjreng, begitu hasil foto diteliti, yang terlihat wajah seorang gadis dengan muka pucat. Seperti tanpa riasan.
Berkali pengambilan gambar diulang oleh anak saya, tetap saja yang tertangkap kamera sesosok gadis berwajah pucat.
Hati saya mulai tidak enak. Dan, firasat kian menguat ketika tanpa sengaja saya menemukan sekuntum bunga anyelir putih di dalam botol kecil berisi air yang disembunyikan di balik pintu.
"Itu bunga kesukaan saya, Bu. Saya yang meletakkannya di situ." Ujar si calon pengantin begitu melihat saya mengamankan bunga di dalam botol itu agar tidak pecah.
Kala itu saya hanya mengangguk. Tapi sempat membatin juga. Mengapa ia memilih bunga anyelir? Bukankah anyelir adalah lambang duka cita?